Reconnect With The Old Me : Terima Kasih Tuhan Pinjaman Mesin Waktunya.


Terhubung lagi dengan diri kita versi lama, pernahkah kalian punya pengalaman seperti itu? Ketika ritme hidup memelan belakangan ini, saya jadi punya waktu untuk menaiki mesin waktu dan bertemu dengan sosok diri delapan tahun yang lalu. Reconnect with the old me. Begini ceritanya.
Aroma buku-buku yang apak di rak yang lembab menguar ketika saya membuka pintu kamar yang kini hanya digunakan ketika saya pulang atau ada tamu. 

Saya menyusuri punggung buku-buku yang berdebu itu dengan jemari. Selapis debu berpindah ke tangan. Ada sekilas rasa sedih melihat buku-buku itu tak terurus.  

Delapan tahun lalu, tepatnya ketika saya masih kuliah magister profesi Psikologi, tidak pernah ada kisah buku berdebu dan bau apak. Buku-buku itu selalu keluar masuk rak, berpindah dari ransel ke ransel, dibuka, dibaca, sampai diajak tidur. 

Nostalgia saya yang dulu : tidak pernah lepas dari buku dan catatan kecil hasil bacaan. Isinya bisa bermacam-macam; ide untuk thesis, catatan hasil observasi, dan pemikiran-pemikiran yang kadang tak bisa ditampung ingatan.

Bagian itu sudah hilang dari saya. Kebiasaan kuno yang kini digantikan scrolling media sosial.



Dapat apa dengan itu? Saya membatin. Pahit mengingat daftar bacaan tiga tahun terakhir yang berhasil ditamatkan masih bisa dihitung dengan 10 jari. 

Delapan tahun lalu, tidak cuma rutin membaca, seminggu bisa menamatkan 3 sampai 5 buku, saya juga mencatat. Banyak hal. Dan ternyata di saat-saat seperti sekarang, kebiasaan mencatat itu sungguh berguna.

Yang tidak ditulis akan hilang dari ingatan.

Memang benar adanya. Kapasitas otak kita sebenarnya besar, tapi ia juga rutin membersihkan memori usang. 

Catatan yang saya buat tidak selalu detail, tetapi memberi saya ruang pemahaman mengenai sejauh apa kehidupan ini telah bertumbuh, ataukah sejauh apa segala sesuatunya telah berjalan di luar rel. 

Delapan tahun berisi cerita tentang LDM, nomaden antara Bandung, Semarang, dan Jakarta. Kuliah, praktek kerja, kerja,  kerja,  thesis, menulis novel kedua dan beberapa buku non fiksi.

Delapan tahun berisi aneka kisah kembali saya baca, seperti sepenggal yang ini : 

Minggu, 27 November, 2011.





"Selamat tahun baru hijrah 1433. Sekian lama hidup, rasanya baru tahun baru hijriah kali ini yang paling berkesan.

Sehari sebelumnya, dari Bandung, dengan travel cititrans kembali ke tempat yang di tahun 2009 lalu, selama 3 bulan,  bener2 gw akrabi. Tapi kali ini untuk event yang berbeda, bukan untuk belajar menulis bersama temen-temen bengkel novel Dewan Kesenian Jakarta, tapi untuk ikut launching-nya Hijabers Mom Community.....Di sana, Allah sajikan 'hidangan buffet yang lezat dengan menu-menu yang sesuai kebutuhan'. Dan saat gw mengambil dan memakannya, air mata ini tiba-tiba meleleh..."

(Jakarta, Sabtu,  26 November 2011, Menara 165, TB. Simatupang, Dekat Wisma Raharja)

Ketika membaca itu lagi di hari ini, saya seperti kembali diingatkan tentang bagaimana segala sesuatunya bermula, dan apakah hari ini saya telah sampai di tempat yang awalnya dituju?

Apakah saya benar bertumbuh, ataukah hancur berkeping-keping?

Delapan tahun, berisi aneka kisah dan pelajaran. Pelajaran sama yang belum dipahami atau tidak dipahami akan berulang. Begitulah ujian atau ulangan di dunia nyata, katanya.

Apa hikmah melihat ke belakang?



Untuk melihat, barangkali justru diri kita hari ini jauh lebih buruk ketimbang yang dulu. Bisa juga untuk mengingatkan kebiasaan-kebiasaan baik yang dulu dikerjakan, namun kini justru ditinggalkan. 

Tidak ada yang buruk dengan melihat kembali ke belakang, meski kita tidak akan berjalan kembali ke arah itu, namun lebih untuk mengingatkan dimana akar kita tertanam, dan kemana kelak kita akan pulang. 

Ada yang bilang, jika perjalananmu ke depan seolah terganjal, coba lihat lagi,  mungkin di masa lalu,  kamu pernah meletakkan batu, dan dalam perjalanan melingkar ini, kamu sedang bertemu dengan batu yang kamu letakkan sendiri dulu. 

Atau bisa jadi, ketika kamu berjalan terlalu cepat, kamu lupakan 'senjata-senjata' yang dulu pernah membantumu. Seolah kini tanpa semua itu kamu sudah mampu mengatasi persoalan hidup.

Hingga Tuhan, mengutusmu naik mesin waktu, pulang untuk mengambil 'senjata-senjata' itu.

Kamu butuh itu lagi : doa-doa yang berbahan bakar air mata, buku-buku yang menyembuhkan pikiranmu, catatan-catatan yang membekukan waktu dan merawat kenangan, serta lebih banyak senyuman serta genggaman tangan. 

Dan kini,  sebagai tambahan : aroma tanah dan tanaman.

Tugasmu pergi ke masa lampau adalah untuk menemukan, apa yang dulu membuatmu tersenyum lepas, tertawa dari hati.dan terpancar di mata.

Temukan obat penyembuhmu sendiri, karena apa yang membuat orang lain tersembuhkan belum tentu manjur buatmu.

Semoga retak-retak di hati menyambung kembali atas seizin yang Maha Membolak-balikkan hati.

Terima kasih, Tuhan pinjaman mesin waktunya. 

26 November 2019. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

Me Time Di Sanasya Spa Tembalang