Memahami Milenial Pelaku Cashless Society Di Era Leisure Economy

 Memahami Milenial Pelaku Cashless Society Di Era Leisure Economy.

Memahami Milenial Pelaku Cashless Society Di Era Leisure Economy.

Beda Dulu Dengan Sekarang : Dulu Enggan Beralih Ke Cashless, Kini Menjamur.




Bersama ketua tim mengedukasi pembeli untuk mengunduh aplikasi dompet digital (photo by : Afif Mas'udi Ihwan)

Tahun 2017 lalu, saya dan beberapa orang rekan mendapatkan sebuah proyek dari sebuah institusi BUMN untuk melakukan kegiatan validasi sebuah teknik pembayaran cashless yang menggunakan QR Code.

Saat itu, saya dan tim bekerja di kawasan pujasera Simpang Lima, Semarang untuk mensosialisasikan cara pembayaran cashless kepada merchant yang merupakan para pedagang kuliner di pujasera Simpang Lima, sekaligus juga mengajak para pembeli untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan QR Code setelah mereka mengunduh sebuah aplikasi.

Pembeli menjajal untuk melakukan pembayaran dengan memindai QR Code. (Photo by : Afif Mas'udi Ihwan)


Kala itu, tidak mudah mengajak para penjual sekaligus pembeli untuk beralih cara pembayaran dari yang tadinya menggunakan uang menjadi cashless dengan melakukan scan QR Code. Meski sudah diberikan iming-iming berupa potongan harga, namun masih banyak pembeli yang lebih suka membayar secara cash. Itu baru persoalan pembelinya, lain cerita dengan para penjual yang juga tidak kalah sulitnya dibujuk untuk berpindah dari transaksi penjualan konvensional ke transaksi cashless.

Pembeli mempelajari dan menggunakan aplikasi dompet digital (photo by : Afif Mas'udi Ihwan)


Saat itu, ketika pembeli tertarik dengan potongan harga yang ditawarkan apabila membayar dengan cara memindai QR Code, gantian penjual yang ragu apakah cara ini akan memudahkan mereka. Sebaliknya, jika penjual hanya membolehkan cara pembayaran dengan memindai QR Code, dikhawatirkan justru pembeli yang merasa kesusahan karena harus unduh aplikasi dulu. Alasan bagi pedagang atau pembeli sebagian besar adalah, ribet harus unduh aplikasi, memori ponsel sudah nggak muat, dan merasa gaptek.

Kini, penjual bahkan harus menyediakan QR Code lebih dari satu untuk masing-masing jenis aplikasi (foto : dokpri)


Dua tahun kemudian, seperti yang kita lihat dan alami saat ini, metode pembayaran cashless bukan lagi hal yang baru. Malahan saat ini, satu orang bisa memiliki lebih dari satu aplikasi yang memfasilitasi pembayaran cashless.

Survey Perilaku Milenial Di Era Ekonomi Digital
Survey Perilaku Milenial Di Era Ekonomi Digital 


Berdasarkan survei yang dilakukan Brilio.net bersama JakPat Mobile Survey pada tahun 2018, didapatkan fakta bahwa 59 % generasi milenial menengah ke atas lebih menyukai transaksi non tunai.

Coba saja cek ponsel masing-masing, ada berapa aplikasi pembayaran cashless yang dimiliki? Pasti lebih dari satu. Jika ada aplikasi atau platform baru yang menawarkan cashback atau potongan harga yang lebih besar, otomatis pengguna akan tertarik untuk mengunduh dan menggunakannya.

Konsumer milenial tampaknya sulit untuk loyal menggunakan satu jenis aplikasi dompet digital saja, rata-rata mereka memiliki dua aplikasi dompet digital.

Kecenderungan tersebut didukung oleh data riset yang dilakukan iPrice, yaitu fakta bahwa sejak 2017 Gopay berhasil menjadi primadona bagi pengguna dompet digital setiap kuartalnya hingga tahun 2019.

Sementara itu, produk dompet digital milik BUMN menunjukkan penurunan peringkat, yang awalnya peringkat 2 pada tahun 2017 turun ke peringkat 4 kemudian disalip OVO yang memiliki transaksi dan pengguna aktif terbanyak sejak 2018, disusul lagi oleh DANA, aplikasi yang baru muncul tahun 2018 tersebut berada di urutan ketiga.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa konsumer milenial cenderung memilih aplikasi yang menawarkan diskon atau cashback terbesar. Terutama jika yang harus dibelanjakan menggunakan aplikasi berkaitan dengan leisure atau experience, misalnya menjajal kuliner kekinian, nonton bioskop, atau traveling.

Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat bahwa sejak 2015 hingga 2017 secara statistik rata-rata biaya hiburan (per kapita per bulan) naik 30,96 %. Sementara konsumsi yang berkaitan dengan rekreasi dan budaya melonjak ke level 6,5% hingga akhir tahun 2018.

Fenomena pergeseran pola konsumsi ke arah leisure economy ini terjadi di hampir semua negara pada masyarakat kelas menengah, termasuk Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tren yang terjadi secara global.

Indonesia Dan Potensi Ekonomi Digitalnya.


Menurut data APJI (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) saat ini ada 143 juta pengguna internet di Indonesia, 74% melakukan pencarian informasi terkait produk melalui mesin pencari di internet, dan 72% lalu lintas pencarian terkait menggunakan ponsel.

Saat ini merupakan era dimana ponsel menjadi lebih digdaya ketimbang dompet yang isinya tebal. 

Semakin banyaknya pengguna internet ternyata juga menggeser perilaku serta perekonomian masyarakat Indonesia.

Saat ini, Indonesia diperkirakan menyumbang sekitar empat puluh persen ekonomi internet di Asia Tenggara pada 2019. Nilai ekonomi internet tanah air diperkirakan mencapai US$40 miliar (sekitar Rp565 triliun) pada tahun ini, meningkat empat kali lipat dibanding tahun 2015 silam.

Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi internet tercepat di Asia Tenggara, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mampu menembus US$130 miliar (sekitar Rp1,8 kuadriliun) pada 2025 nanti.

Hal tersebut di atas terungkap dari riset terbaru berjudul e-Conomy SEA 2019 yang dirilis oleh Google, Temasek, serta Brain & Company yang menyatakan bahwa nilai ekonomi internet Asia Tenggara tembus US$100 miliar (Rp1,4 kuadriliun) untuk pertama kalinya pada 2019, tumbuh lebih dari tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Angka ini juga diprediksi terus tumbuh hingga mencapai US$300 miliar (Rp4,2 kuadriliun) pada 2025.

Penggerak utama dari kondisi tersebut adalah merebaknya e-commerce dan ride hailing, juga pertumbuhan media daring dan travel online. Lagi lagi, leisure economy juga yang menjadi penggeraknya.

Sebagai gambaran, saat ini jumlah pengguna yang melakukan aktivitas jual-beli lewat e-commerce telah tumbuh tiga kali lipat menjadi 150 juta orang pada 2019, dari sebelumnya hanya 49 juta orang pada 2015. Sementara itu, permintaan terhadap jasa ride hailing juga terus meningkat, dengan jumlah pengguna aktif melonjak hingga mencapai 40 juta orang saat ini, dari sebelumnya hanya 8 juta pengguna pada tahun 2015.

Jika dirangkum inilah beberapa faktor yang membuat potensi ekonomi digital Indonesia menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, antara lain:



1) Tingginya transaksi e-commerce, juga pertumbuhan layanan transportasi online serta berbagai macam unit bisnis yang dinaunginya. Sebut saja salah satu aplikasi ojek online yang kini tidak hanya menyediakan jasa untuk mengantarkan kita pergi ke berbagai tempat, tetapi juga bisa membantu kita menemukan pengalaman kuliner yang baru, membersihhkan rumah, pijat saat kecapekan, bahkan berobat ke puskesmas.

2) Pertumbuhan adopsi dompet digital dalam berbagai bidang. Ya, seperti yang sudah disebutkan di atas. Dompet digital kini semakin beragam, baik yang dikeluarkan oleh bank maupun jasa penyedia layanan keuangan lainnya. Sebut saja bahwa saat ini sudah ada sebuah fintech yang melayani pinjaman online untuk mahasiswa atau platform khusus bagi para wirausaha atau produsen untuk dapat menghimpun pendanaan bagi usaha mereka melalui partisipasi masyarakat.

3) Keran inisiatif pendanaan dan komitmen investasi yang kian terbuka. Keberhasilan startup milik anak bangsa yang menjadi unicorn tidak dipungkiri membuat investor kini mulai membuka mata terhadap startup lokal dengan ide-ide yang brilian. Investor kini tidak segan untuk memberikan kucuran dana, terutama bagi startup yang memiliki implikasi sosial yang besar.

4) Adanya putaran pendanaan beberapa unicorn di Indonesia. Keberhasilan beberapa unicorn tanah air membuat beberapa startup dengan bidang usaha yang sama kemudian memiliki peluang untuk didanai oleh startup yang lebih besar. Hal tersebut bisa saja menjadi strategi untuk meluaskan pasar atau justru agar tidak ada pesaing yang sama besarnya di bidang yang sama. Contohnya, Traveloka yang kemudian mengakuisisi Pegi-Pegi.

Milenial Sebagai Penggerak Ekonomi Digital


Faktor pertumbuhan tersebut tentunya didukung oleh pelaku ekonomi digital sendiri, yaitu kalangan milenial yang menjadi generasi penggerak. Dengan data-data yang dipaparkan di atas, pola konsumsi dan perilaku milenial dalam melakukan transaksi pun telah mengalami pergeseran yang disebabkan oleh mulai terbiasanya mereka dalam melakukan transaksi cashless.



Peran milenial sebagai pelaku ekonomi digital, mulai mengalami pergeseran, dari yang tadinya semata-mata menjadi konsumer, kini banyak anak muda yang terjun menjadi entrepreneur atau produsen. Dari yang awalnya berada di era kompetisi, bergeser menjadi era kolaborasi dan sharing economy.

Generasi milenial, baik sebagai produsen maupun konsumen, juga mulai menyadari kelebihan dari transaksi cashless dalam perekonomian digital saat ini, yaitu : 

Sebagai pelaku bisnis atau produsen, milenial menyadari bahwa pembayaran non-tunai pada dasarnya membantu pelaku bisnis dalam mengurangi risiko fraud atau kehilangan. Semakin berkurangnya uang tunai yang dipegang, manajemen keuangan akan lebih rapi, mudah dikelola, dan mudah dilacak riwayatnya secara online. 

Dengan transaksi cashless, pelaku bisnis lebih leluasa mengalokasikan waktunya untuk fokus mengembangkan usaha karena semua transaksi keuangan dapat dimonitor secara online. Pelaku bisnis yang bekerjasama dengan mobile payment gateway juga bisa mendapatkan keuntungan dari promo dan diskon yang ditawarkan bagi merchant atau pelaku bisnis.

Sementara itu, sebagai konsumen, generasi milenial juga mulai merasakan efisiensi dalam hal transaksi cashless ini, apalagi ditunjang dengan faktor keamanan karena adanya PIN atau kode verifikasi ketika bertransaksi. Meski ponsel berpindah tangan, namun PIN atau kode verifikasi bisa membendung terjadinya pembobolan dana.

Data pengeluaran juga terekam dengan baik ketika melakukan transaksi menggunakan dompet digital, otomatis mereka bisa mempelajari bagaimana, untuk apa, dan kemana saja pendapatan mereka dibelanjakan.

Berbagai pilihan layanan yang disiapkan oleh mobile payment atau dompet digital juga memungkinkan konsumen untuk menampung dana di satu platform saja, namun bisa untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan, dari mulai belanja bulanan, membayar tagihan hingga investasi. 

Meskipun dikelilingi dengan berbagai kemudahan, namun tidak sedikit pula milenial yang merasa bahwa pergeseran pola transaksi ekonomi ini bisa membuat mereka lebih konsumtif dan boros. Apalagi saat ini begitu banyak jenis mobile payment yang memberikan berbagai penawaran dibalut cashback atau pun diskon. Kondisi ini menciptakan kebutuhan baru yang terkadang tidak perlu.

Apalagi mengingat saat ini eranya leisure economy, dimana masyarakat cenderung lebih banyak spend money untuk experience ketimbang untuk membeli barang.

QR Code Indonesia Standard (QRIS) Menjawab Kebutuhan Milenial Sebagai Pelaku Cashless Society.


Coba lihat ponsel kita sejenak, ada berapa aplikasi layanan pembayaran digital yang dimiliki? Terkadang, karena ingin mendapatkan benefit yang berbeda-beda dari masing-masing penyedia layanan dompet digital, kita kemudian mengunduh semua aplikasi.

Tanpa sadar aliran dana kita pun terbagi-bagi di berbagai aplikasi. Hanya demi mengejar diskon atau cashback terciptalah kebutuhan baru yang sebenarnya tidak perlu.

Kabar baiknya, model pembayaran digital di Indonesia akan semakin mudah, rapi, dan efisien setelah Bank Indonesia (BI) meluncurkan standar Quick Response (QR) Code untuk pembayaran melalui aplikasi uang elektronik server based, dompet elektronik, atau mobile banking yang disebut QR Code Indonesian Standard (QRIS).

Selama ini, setiap layanan memiliki model QR Code yang berbeda-beda sehingga ketika pelaku usaha ingin menyediakan layanan pembayaran yang beragam, maka harus menyediakan lebih dari satu QR Code.

Standarisasi QR Code ini berfungsi agar satu kode bisa dipakai melalui layanan pembayaran yang berbeda. Misalnya, satu kode di satu penjual merchant bisa dipindai untuk membayar menggunakan Go-Pay atau Ovo.

Nantinya jika standarisasi QR Code ini sudah diimplementasikan, para penjual yang menyediakan layanan pembayaran lewat QR Code, hanya cukup memiliki model QR Code saja. Nantinya QR Code-nya bisa digunakan oleh lebih dari satu operator pembayaran.

Adanya standar kode respons cepat (QR code) tersebut juga akan membuat transaksi yang menggunakan ponsel pintar lebih efisien dan aman. Implementasi QRIS dalam skala nasional akan mulai berlaku secara efektif pada 1 Januari 2020 mendatang.

Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, QRIS juga mengusung semangat UNGGUL (UNiversal, GampanG, Untung dan Langsung), bertujuan untuk mendorong efisiensi transaksi, mempercepat inklusi keuangan, memajukan UMKM, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, untuk Indonesia maju.



1) Universal : QRIS bisa diunduh dan digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pedagang kecil skala rumahan sampai pemilik merchant besar di pusat perbelanjaan modern. QRIS juga telah memenuhi standar internasional dari EMV Co., lembaga yang menyusun standar internasional QR code untuk sistem pembayaran, sehingga nantinya QRIS bisa digunakan untuk bertransaksi di negara-negara yang sudah memiliki sistem pembayaran digital sesuai standar EMV Co. seperti Thailand, Singapura, Korea Selatan, India, dan Malaysia.

2) Gampang : Selain mudah digunakan, transaksi menggunakan QRIS jadi lebih aman, karena konsumen hanya boleh menggunakan aplikasi pembayaran digital yang sudah diverifikasi oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP).

3) Untung : Satu QR code bisa digunakan untuk semua jenis aplikasi.

4) Langsung : Selesai memindai QR code dan menyelesaikan tahapan pembayaran, maka transaksi akan langsung diproses. Sebagai bukti jika transaksi pembayaran telah berhasil dilakukan, saat itu juga pengguna dan pihak merchant akan langsung mendapat notifikasi dari sistem QRIS.


Implikasi lainnya dalam penggunaan QRIS untuk generasi milenial juga diharapkan dapat meminimalisir efek negatif dari pergeseran pola ekonomi secara personal, misalnya mengurangi sisi impulsif untuk membelanjakan uang hanya karena tergiur potongan harga dari berbagai jenis aplikasi dompet digital, kemudian juga untuk memudahkan dalam pengalokasian dana sesuai kebutuhan individu.

Penggunaan QRIS ini juga sangat sesuai dengan karakter generasi milenial yang menyukai kepraktisan, namun juga ingin lebih banyak memiliki 'tabungan' pengalaman. Bagi generasi milenial, investasi terbaik adalah experience dan sudah semestinya teknologi yang diciptakan di era ini semakin memudahkan bukannya melenakan.

#feskabi2019
#gairahkanekonomi
#pakaiQRstandar
#majukanekonomiyuk




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination