Menjelajah Melaka Dua Hari Satu Malam (Bagian 2)


Cerita ini lanjutan dari 'Menjelajah Melaka Dua Hari Satu Malam' bagian 1, ya. Kali ini, akan diceritakan tentang destinasi wisata Melaka lainnya yang juga harus dikunjungi saat ke Melaka. Salah satunya adalah, Masjid Selat Melaka.

Membandingkan Kota Tua Melaka dengan Kota Lama Semarang. 





Melaka adalah sebuah kota tua yang dinyatakan oleh UNESCO sebagai Bandar Warisan Dunia atau World Heritage. Dulunya kota tua ini pernah dijajah oleh 3 negara, yaitu Portugis, Belanda dan Inggris.

Makanya kalau berkunjung ke Melaka kita akan merasakan atmosfer yang unik karena di satu sudut kita bakal menemukan bangunan dengan arsitektur Portugis, di sisi lain ada yang mengusung langgam arsitektur Belanda dan Inggris yang relatif serupa. Belum lagi rumah-rumah masyarakat lokal peranakan, bangunannya sudah beda lagi.

Berkunjung ke Melaka itu memanjakan mata fotografer yang jeli membidik objek-objek unik. Kalau mau diikutin semua, kayaknya nggak bakal habis deh, itu motret keunikan Melaka dalam sehari.

Bangunan Merah memang seolah jadi pusatnya, tapi kalau jeli banyak hal yang bisa dibidik lensa kamera.

Jujur saja, saat berkunjung ke Melaka saya nggak tahu-tahu banget sejarahnya, kecuali soal penjajahan oleh Portugis dan datangnya misionaris bernama St. Francis Xavier buat bangun gereja katolik St. Paul yang akhirnya jadi gereja katolik tertua di Melaka.

Yang menarik perhatian justru karena saya bolak-balik membandingkan kota tua Melaka ini dengan Kota Lama Semarang yang juga diusulkan akan jadi UNESCO World Heritage di 2020.

Melaka sudah lebih sustain karena sudah digarap sejak 2010, makanya kalau mau disebut sebagai destinasi wisata, semuanya kayak udah 'nyambung' dan punya benang merah cerita.

Sementara Kota Lama, menurut saya masih seperempatnya dari Melaka ini. Soal potensi wisata dan daya tariknya, tentu bisa dikatakan Kota Lama Semarang lebih baik, tapi kalau potensi dan daya tariknya nggak dipoles, Kota Lama Semarang bakal gitu-gitu aja.

Di Melaka, pengunjung bisa memilih 'atraksi' apa yang hendak mereka nikmati. Kalau sukanya kulineran, makanan ala Portugis, Chinese, India, Western Food, Peranakan, sampai Indonesia ada.

Jarak lokasi tempat kulineran ke jantung tempat wisata sangat dekat. Orang nggak sungkan buat jalan kaki karena mata mereka akan dimanjakan keunikan bangunan-bangunan yang ada di area Jonker, misalnya.

Bandingkan kalau kita ke Kota Lama Semarang, hampir semua tempat kulineran didominasi kafe fancy, yang mana nggak semua orang bakal tertarik untuk ngulik kulineran ala kafe. Melaka punya Asam Pedas, di Semarang ada Gulai Bustaman.

Saat ke Melaka, orang asing ngga ragu buat nyicipin asam pedas atau chicken rice ball, sementara kalau ke Kota Lama Semarang, nggak semua wisatawan mau mencicipi gulai bustaman. Beberapa kuliner di Kota Lama Semarang kalau nggak 'dipoles', wisatawan asing belum tentu mau mencicipinya.

Nggak jauh dari Kota Lama Semarang, juga ada Pasar Malam Semawis, yang juga hampir sama dengan Jonker Street Night Market. Bedanya di akses. Untuk ke Jonker Street, pengunjung cukup jalan kaki. Kalau di Semarang, mau ke Semawis jalannya lumayan kan.

Kota Lama Semarang yang ingin jadi jujugan wisata cagar budaya dunia harus mulai membuka mata, destinasi ini diperuntukkan buat siapa? Apakah untuk warga lokal? Apakah untuk menarik wisatawan asing? Saat ini, menurut saya masih nanggung.

Melaka Bisa Jadi Jujugan Wisata Sejarah dan Religi 


Identitas Melaka sebagai kota wisata cagar budaya terasa lebih berkarakter ketika berbagai infrastruktur dan potensi tempat wisata yang ada digarap dengan maksimal. Kalau mau disebut sebagai destinasi wisata religi, Melaka juga bisa.



Selain kelenteng Cheng Hoong Teng, ada dua masjid yang punya sejarah dan arsitektur unik. Yang pertama adalah Masjid Kampung Hulu yang terletak di persimpangan Jalan Kampung Hulu dan Jalan Masjid. Lokasinya cuma tiga menitan jalan dari hotel tempat kami nginep.

Masjid ini katanya merupakan masjid tertua di Malaysia yang masih asli berdiri di tempat asalnya. Masjid Kampung Hulu didirikan pada tahun 1728 oleh Dato’ Samsudin Bin Arom, pada saat Melaka sedang dikuasai oleh Belanda.

Pada jaman penjajahan Portugis tahun 1511, sebenarnya sudah ada masjid pertama di Melaka. Lokasinya di seberang bangunan yang kini disebut Stadhuys, tapi bangunan tersebut diruntuhkan oleh Portugis.



Lalu ada juga Masjid Kampung Kling yang didirikan pada tahun 1748 dan direnovasi pada tahun 1872. Masjid ini dibangun ketika pedagang dari India datang ke Melaka pada abad 14. Hampir sama kan, sejarahnya dengan Masjid Menara di Semarang. Masjid Kampung Kling terletak sederet dengan Kelenteng Cheng Hoon Teng dan Kuil Sri Poyatha Vinayagar Moorthi.



Jadi, saat para pedagang mendarat di satu tempat untuk misi perdagangan, mereka sekaligus membangun masjid untuk beribadah. Begitu pun dengan pedagang dari China dan India. Lokasi tempat ibadah yang berdekatan juga menggambarkan toleransi antar umat beragama yang sangat baik di Melaka.

Berbuka Puasa di Masjid Selat Melaka. 

Berkendara menggunakan Grab (RM 10) dari area Masjid Kampung Kling menuju Masjid Selat Melaka atau Malacca Strait Mosque untuk sholat ashar dan menunggu waktu berbuka puasa menjadi salah satu agenda kami ketika berkunjung ke Melaka.

Udara yang panas, serta rasa letih karena sudah menjelajah Melaka setengah harian membuat kami memilih untuk leyeh-leyeh terlebih dahulu selepas menunaikan shalat ashar di masjid yang berada di selat tersibuk dan terpanjang dunia ini.

Masjid Selat Melaka ini berdiri di pinggir pantai sebuah pulau buatan sehingga saat kondisi air sedang pasang, masjid ini seolah terapung di tengah lautan.


Masjid yang mulai diresmikan pada tahun 2006 silam ini menempati lahan seluas 1,8 hektar dan mampu menampung 2000 jemaah. Jika dilihat sepintas, masjid ini mirip dengan masjid terapung di Jeddah yang memang menjadi inspirasi untuk pembangunannya.


Yang menarik adalah para pengunjung yang datang ke masjid ini cukup beragam dari berbagai etnis maupun bangsa. Saat masuk ke area masjid mereka harus mengenakan pakaian tertutup, misalnya hijab dan baju panjang untuk wanita, serta sarung untuk pria. Jika tidak, para pengunjung akan dipinjami baju khusus.

Para pengunjung yang datang tidak sekadar berfoto selfie atau melihat-lihat, mereka juga akan dipandu oleh petugas yang ada di masjid. Petugas inilah yang akan menemani pengunjung berkeliling, sambil menceritakan tentang sejarah masjid, dan agama Islam itu sendiri.

Semakin sore pengunjung makin banyak, dan nggak bisa menebak mereka ini warga lokal atau wisatawan seperti kami. Yang pasti baru kelihatan adalah menjelang adzan magrib sebagian besar segera berbuka dengan kurma dan air putih yang sudah disiapkan, kemudian menunaikan sholat magrib bersama-sama.

Selepas shalat Maghrib, saya dan keluarga memutuskan kembali ke Melaka untuk makan malam, tetapi ternyata sedang ada acara iftar di tenda bagian depan, dan kami diajak berbuka puasa dan makan malam di sana.

Menu makan berat untuk berbuka puasa : nasi + semacam kalio daging+ sambal belacan+ lalapan+ manisan dan buah. Minumnya air mata kucing. 

Rupanya acara berbuka puasa selepas shalat maghrib ini jadi agenda selama bulan Ramadan. Pantas saja selepas sholat tadi tampak orang-orang bergegas menuju ke area tenda.

Suasananya berbuka puasa ini menyenangkan sekali. Satu meja besar ditempati satu sampai dua keluarga. Kita jadi bisa ketemu dengan warga lokal sekaligus wisatawan dari beberapa negara lain yang juga ikut berbuka puasa.

Suasana Ramadan 2019 ini jadi berbekas banget di ingatan, salah satunya ya karena kunjungan ke masjid-masjid di Melaka ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination