Catatan Maret Sekaligus Catatan Trimester Pertama
Catatan Maret. Diawali dengan kalimat ini : "Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku takkan pernah melewatkanku.” Kadang nggak mudah memaknai kalimat tersebut, namun di baliknya ada berlapis-lapis ketenangan ketika kalimat itu diucapkan untuk memantrai diri sendiri. Iya kan? Terus apa hubungannya dengan catatan trimester pertama?
Memangnya lagi hamil?
Sabar, baca pelan-pelan ya, soalnya bakal panjang.
Sedikit banyak, catatan bulan Maret kemarin berkaitan dengan hal tak terduga yang bikin kaget diri sendiri.
Sebagai orang yang selalu punya rencana jangka pendek dan jangka panjang, musuh terbesar saya adalah menunda. Meski begitu saya masih sering menantang mahluk bernama 'procastinator'. Akibatnya di awal tahun ini jadi ada beberapa hal yang berjalan di luar rencana dan harapan.
Salah satunya being pregnant without consideration. Mungkin kalimat itu jadi terdengar angkuh dan nyebelin buat sebagian besar yang baca, apalagi yang selama ini, misalnya sudah menanti-nanti untuk punya momongan.
Mohon maaf kalau ternyata jadi ditangkap begitu ya. Sama sekali nggak berniat seperti itu. Justru dari cerita ini saya mau bilang kalau, hidup, mati, punya anak atau tidak, jodohnya cepat atau lama, adalah hak preogratif milikNya.
Banyak di antara teman-teman saya yang sudah menikah lama dan belum dikaruniai momongan. Saya pernah merasakan gimana melelahkannya promil. Menguras emosi, lahir dan batin. Been there waktu nunggu-nunggu punya Tazka, bahkan waktu itu sempat divonis 'sakit' juga.
Setelah punya dua anak, saya dan suami sepakat untuk ngga pingin punya anak lagi. Dulu bahkan kami sempat hanya ingin punya satu anak. Tapi ternyata banyak juga tekanan dari luar dan dalam yang selalu menjadikan pasangan dengan anak tunggal itu dianggap aneh.
Setelah kemudian punya anak dua, dan ternyata dua-duanya lelaki, masih juga dianggap belum 'sempurna'. Bikin lagi dong, nambah satu lagi anak cewek. Seolah rumah tangga tidak lengkap jika anaknya ngga sepasang. Ya, komen selalu lebih gampang, yekan? Emang netizen yang komen mau ikut mikirin, misalnya nanti mau mendidik anaknya model gimana?
Jadi, jangan terlalu mikirin pendapat manusia lain. The rules are : kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Cukup fokus sama diri sendiri dan ridhoNya. Dua itu aja udah susah pakai banget, apalagi kudu memuaskan netizen.
Dan ternyata ketika tahu saya hamil lagi, jujur ini sesuatu yang unexpected buat saya pribadi. Bukan unexpected seperti ketika habis married bilang mau bulan madu enam bulanan dulu, tahu-tahu dikasih momongan, tapi ini unexpected yang bikin mikir lama dan tarik napas dalem.
Pertama, saya merasa masih punya banyak peer untuk Tazka. Saya menilai diri sendiri hanya bisa optimal membimbing dan mendidik dua anak. Masih banyaaak kekurangan praktik parenting di sana, dan di sini yang harus diperbaiki. Intinya, secara akal manusia, sementara saya baru bisa fokus dengan dua anak saja.
Ini penilaian saya terhadap diri sendiri lho. Jangan dikaitkan dengan, misal rezeki anak pasti dijamin sama Allah. Iya, kalau itu InsyaAllah saya percaya. Yang nggak saya percaya itu diri saya sendiri, kemampuan saya, bukan nggak percaya sama kemampuan Allah. Soalnya ada yang kalau saya cerita gini jadi malah salah tangkap.
Ya, harusnya kalau tahu gitu, bener-bener direncana dong. Gitu mungkin sebagian yang baca mikirnya. Nah, itu dia. Sebenernya akhir tahun 2018 saya udah ada jadwal untuk papsmear dan izin Pak Suami untuk pasang 'gembok' tapi kemudian ditunda-tunda sampai awal tahun.
Tahu-tahu selama Februari itu, yang disangka selama semingguan lebih saya haid, ternyata itu adalah flek karena kehamilan. Saat tahu, rasanya galau, bingung, dan cemas. Sampai seolah nggak bisa menerima kondisi tersebut karena terbayang berbagai bentuk ketakutan. Apalagi di tahun 2020 saya punya rencana untuk sekolah lagi, dan sejak 2018 sudah mencicil segala persiapannya.
Seiring berjalannya waktu, saya tahu kondisi tersebut nggak baik buat mental dan fisik saya sendiri, juga janin. Harus ada 'game changers' supaya mindset bisa dibalik 180 derajat. Dan kalimat yang paling meneduhkan adalah yang saya tadi tulis di pembukaan. Maknanya meluas untuk semua hal yang saya alami di tahun-tahun belakangan ini.
Sadari bahwa ada hal-hal di luar akal dan rencana manusia. Jika sulit untuk mengakui pada manusia lain, setidaknya jujurlah kepada diri sendiri dan Tuhan apa yang benar-benar membuatmu bahagia. Pada prakteknya lebih mudah membohongi diri sendiri dan berkompromi dengan hal-hal yang nggak kita sukai.
Tapi soal menerima takdir, beda lagi.
Ada yang sudah pakai 'gembok' pun bisa hamil juga. Ada yang sudah bertahun-tahun menunggu ingin punya anak, sampai akhirnya menyerah, tapi kemudian sekejap Allah menganugerahi momongan.
Kabar baik seperti itu ada juga. Alhamdulillah kemarin baru saya dengar dari seorang temen blogger asal Bandung juga yang dulu tinggal di Semarang dan sekarang pindah ke Jakarta. Setelah 10 tahun menikah, akhirnya Teh Vita dikaruniai momongan.
Mendengar kabar tersebut, hati dan air mata langsung meleleh. Haru sekaligus bahagia, lantaran sering ikut mendengar keluh kesah dan curhatan Teh Vita tentang promilnya, dan bagaimana ia serta pasangannya sering mendapat tekanan dari lingkungan.
Setelah menerima, langkah selanjutnya memetakan apa yang harus dilakukan ke depan. Catatan trimester pertama ini juga salah satu bentuk 'game changers' untuk melatih pikiran agar bisa menghadapi momen hamil (lagi) ini dengan lebih baik.
Hamil kali ini saya mengalami 'morning sickness' terparah dibandingkan dua kehamilan sebelumnya. Rasa mual terjadi hampir sepanjang hari. Secara psikologis, saya sadar ini karena di awal ada sebentuk penolakan. Meski pikiran tersebut pelan-pelan bergeser dan digantikan harapan-harapan baru, namun sel-sel tubuh sudah merekam hormon stress yang terlanjur mengalir di darah.
Kurangi dosis stressnya. Begitu mantra pada diri sendiri. Lebih banyak berserah dan pasrah. Jangan paksakan, lepaskan, dan jalani saja.
Kayak gampang ya, nulisnya. Tapi jalaninnya nggak mudah. Apalagi karena sejak dulu saya punya pembawaan olfaktori yang sensitif, atau penciuman yang lebih tajam dibanding orang lain, sehingga selama hamil ini intensitas kepekaannya bertambah berkali-kali lipat.
Peka terhadap segala macam bau-bauan. Bahkan bau badan sendiri bisa bikin saya merasa mual dan ingin muntah. Kalau dulu anak kedua saya cuma benci dengan aroma deterjen dengan merek tertentu, kali ini hampir semua bau sulit untuk ditolerir. Jangan tanya gimana kalau berhadapan dengan bau masakan, minyak panas, dan teman-temannya.
Parfum laundry yang dulu tercium enak aja, sekarang jadi terasa menyesakkan. Begitu juga dengan aroma pewangi mobil. Pokoknya big no buat Stella Lemon. Kecuali pingin bikin saya pingsan di mobil silakan masukkan saya ke mobil berpewangi merek tersebut. Ndilalah, anak-anak juga ketularan sensitif terhadap bau-bauan.
Pak Suami juga konsultasi dulu kalau mau pakai wangi-wangian. Saya jadi nggak suka sama bau sabun mandi, odol, shampoo, dan deodoran yang sekarang dipakai di rumah. Hanya beberapa yang lolos dari penciuman, yaitu aroma shampoo milik Tazka, aroma sabun cuci piring, dan parfum pribadi : Zara Powdery Magnolia yang sayangnya tinggal dikit, hikss.
Saat akhir pekan dan nggak kemana-mana jadi punya kegiatan berendam bareng anak-anak dengan larutan baking soda yang dicampur air hangat. Ini supaya anak-anak dan saya sendiri odorless sehabis mandi. Paling nggak suka dengan aroma 'anak pulang sekolah yang kena matahari', langsung ingin muntah.
Kalau ada yang pernah baca Aroma Karsa, saya merasa jadi tokoh Tanaya Suma di saat hamil kali ini.
Di samping masalah penciuman, selera makan jadi ikut terpengaruh juga. Agak susah mendefinisikan selera makan saat hamil kali ini. Entah kenapa makanan yang saya pilih sendiri pasti jatuhnya jadi nggak enak di lidah, tetapi makanan yang dipilihkan orang lain terasa enak. Awal-awal baru bisa makan kalau bareng-bareng orang lain. Semoga nggak berlanjut kayak gini terus.
Di hamil trimester pertama ini, ada beberapa catatan klinis, siapa tahu informasi seperti ini dibutuhkan buat yang baca. Misalnya, di awal-awal kehamilan saya selalu mengalami flek, yang terjadi hampir tiap hari. Dari hasil USG, ketebalan plasenta di atas 4 cm, yaitu hampir 6 cm. Menurut Dsog kondisi itu juga yang memicu rasa mual yang berlebihan. Dsog-nya selalu dengan positif bilang, "biasanya kalau mualnya parah gini anaknya cewek, Bu."
Kemudian, di usia kehamilan 11 weeks sempat terjadi pendarahan, dan harus ke rumah sakit karena pendarahannya lumayan banyak. Saya sempet bedrest tiga harian. Selanjutnya nggak boleh terlalu capek ngapa-ngapain.
Obat-obatan yang saya konsumsi sejak awal antara lain : Folavit 1000 mg, Kalnex untuk mengatasi pendarahan; setelah sebelumnya saya mendapat suntikan dari RS (lupa nanya apa nama obatnya), dan Utrogestan untuk penguat kandungan.
Pemilihan dokter, masih menggunakan dokter yang sama sejak dulu pertama hamil, yaitu Pak Syarief Taufik. Cuma karena kondisi RS tempat beliaunya praktek sekarang nggak nyaman, jadi berpikir untuk pindah dokter lain yang praktek di RS dengan suasana yang lebih nyaman. Antrinya bikin nggak bisa positive thinking.
Untuk bidan, tetap setia dengan Bu Cahyaning Pujiastuti di Klinik Ngesti Widodo Ungaran. Beliau sangat berjasa untuk membantu proses VBAC anak kedua, dan darinya saya belajar banyak tentang menjadi wanita yang lebih berdaya ketika hamil dan melahirkan.
Saat kemarin konsultasi lagi dengan beliau, saya merasa terbantu untuk menata kembali pikiran dan langkah-langkah ke depan. Dari hasil rabaan beliau, ada kemungkinan posisi rahim lebih turun dibandingkan sebelumnya. Kondisi tersebut ke depannya bisa memicu, kemungkinan, posisi bayi yang sungsang. Tapi beliau bilang, "hal itu kita pikirkan nanti," seolah bisa membaca energi saya, ia menambahkan, "sekarang fokus dulu dengan penyesuaian kondisi baru ini, dinikmati dulu masa-masa awal ini."
Menerima, menerima, dan menerima. Terbuka, terbuka, dan terbuka. Semua hal yang terjadi baik, tubuhku sehat, pikiranku bahagia, janinku sehat dan bahagia. Kehamilanku berjalan lancar hingga hari persalinan tiba. Begitulah afirmasi positif yang harus ditanamkan dalam-dalam.
Oh ya, kelupaan, di 11 weeks lebih berapa hari sekian, saya juga ketemu Bidan Ari Fatun dari Jogja yang menggawangi babaran.id, juga Mbak Ira Bidan dari Peacuful Birth Semarang. Saya sempat ikut prenatal yoga dan relaksasi yang diadakan keduanya bersama bumil lainnya di Bebibyur, Ngalian.
Sebenernya belum diizinkan untuk prenatal yoga saat itu, tapi setidaknya saya jadi tahu kondisi fisik saya sendiri dengan yoga di awal usia kehamilan ini. Ternyata ada beberapa gerakan yoga hamil yang tidak bisa dilakukan senyaman ketika hamil sebelumnya. Nah, dari sini saya jadi tahu bagian-bagian tubuh mana yang butuh diberikan perhatian khusus.
Itu dulu catatan trimester pertamanya. Nggak sabar agar masa-masa mual dan ingin muntah ini berakhir, juga penciuman 'normal' kembali, alias bisa menolerir bau-bauan. Dan semoga bisa istiqomah menuliskan catatan berikutnya, yes.
Buat temen-temen yang baca dan kebetulan lagi promil, semoga Allah segera mengabulkan doa-doa terbaik kalian. InsyaAllah semua sudah digariskan olehNya. Jangan menyerah oleh omongan netizen maha benar, hehehe, jalani apapun yang kalian anggap terbaik di kondisi kalian saat ini. Saya nggak bisa kasih kiat apa-apa. Hanya doa diam-diam untuk teman-teman dan sahabat di luar sana.
Kadang bilang sabar ke orang juga belum tentu ngaruh ke orang lain, kan. Intinya kalau sanggup menjalani tahap-tahap promil, jalani dengan hati lapang dan niatkan jadi bagian dari ikhtiar. Selebihnya biar Allah yang menghadiahkan waktu terbaik buat kalian. Sure I knew it's hard. Tapi ada Allah yang bikin kalian jadi kuat.
Dulu waktu promil saya juga sering nangis-nangis, emosi nggak stabil, mana lagi thesis. Terus sempat jadi tapi malah keguguran spontan, kemudian kejadian pingsan di parkiran rumah sakit tempat konsul sama dosen pembimbing. Terus pernah juga pingsan saking nggak bisa nahan sakit waktu lagi di kios kain di pasar baru. Dan itu posisi lagi LDM sama suami. Terus pernah berantem hebat di mobil sama Pak Suami saat baru keluar dari dokter yang memvonis saya 'sakit' dan nggak bakal bisa hamil lagi kecuali saluran tuba falopinya diapain gitu, saya sampai lupa. Kalau ingat masa-masa itu, saya yakin cuma karena kekuatanNya saya masih bisa nyeritain hal ini sekarang.
Nyatanya, sekarang saya bisa hamil lagi. Kalau bukan karena Allah menginginkan ini menjadi bagian dari jalan hidup saya, lalu apa? Saya pun masih harus banyak intropeksi diri, dosa berlapis-lapis, entah harus mengimbangi dengan berbuat kebaikan seberapa? Yang pasti sebanyak-banyaknya. Jadi, InsyaAllah mengurangi dosa yang kecil-kecil kaya ghibahin orang (uhuk), dan belajar untuk ngga men-judge.
Selalu dan selalu mengingatkan diri sendiri, hanya karena masih ada selembar kain yang menutup kepala saya, bukan berarti saya berhak menghakimi orang yang melepas kain penutup di kepalanya. Ini sebuah perumpamaan, ya. Bukan berarti habis kejadian ada orang di dekat saya yang lepas hijab (netizen sekarang harus serba dijelasin biar ngga galfok, hehehe)
Buat yang mengalami momen 'unexpected' seperti saya, "Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku takkan pernah melewatkanku.”
Komentar
Posting Komentar