The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination


brama-sole.com The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination. Kalimat yang diterjemahkan sebagai 'The Kirana Tembok, Sebuah Destinasi Pariwisata Berkelanjutan yang Menjanjikan' mungkin masih terasa buram bagi sebagian pembaca yang belum mengenal apa itu destinasi pariwisata berkelanjutan, atau di mana dan seperti apakah The Kirana Tembok itu. Tulisan ini akan mengupas tentang keduanya.


The Kirana Canggu


Sebelum membahas soal The Kirana Tembok, kita akan berjalan mundur untuk mengenal terlebih dahulu The Kirana Bali, sebuah hotel butik yang berlokasi di Canggu. Canggu sendiri merupakan sebuah kawasan di bagian utara Kuta yang menjadi sebuah destinasi favorit bagi para pecinta yoga, surfer, dan menjadi jujugan bagi wisatawan asing yang membawa keluarga.

Lokasi The Kirana Canggu tidak jauh dari Pantai Batu Bolong dan Pantai Echo yang terkenal dengan tempat berselancarnya. Keberadaannya dikelilingi oleh desa-desa khas Bali yang secara alami menjalankan rutinitas keseharian yang mengakar pada tradisi dan ritual keagamaan. Menyusur jalanan di Canggu membuat kita merasakan vibrasi Bali yang sesungguhnya.



Aktivitas di sekitar The Kirana Canggu bergerak mengikuti irama serta rutinitas masyarakat lokal, berpadu dengan geliat para wisatawan asing yang terasa membaur membuat atmosfernya terasa santai dan mengalir. Suasana tersebut kemudian ditangkap The Kirana Canggu dan dituangkan dalam konsep hotel butik bergaya tropis. Bangunan serta lanskapnya membaur dengan lingkungan sekitar, mengesankan konsep Bali yang effortlessly.

"Dahulu, kawasan Canggu ini memiliki banyak areal persawahan," ujar Pak Komang Adi kepada saya dan beberapa teman saat berkesempatan untuk melihat-lihat setiap bagian hotel. "Bahkan sampai sekarang masih ada tukang giling padi yang berkeliling dengan sepedanya di sekitaran sini," tambah beliau lagi, yang kemudian diberi persetujuan oleh Pak Dewa selaku manajer The Kirana Canggu.

Bagi sebagian besar wisatawan yang sudah bosan dengan destinasi mainstream, Canggu menjadi sebuah magnet baru, dan sebagai hotel butik, The Kirana Canggu berhasil merangkum konsep yang anti mainstream. Alih-alih menjadikan keseluruhan lahan sebagai bangunan, untuk mengingatkan keberadaan areal persawahan yang pernah menjadi bagian dari kawasan Canggu, The Kirana Canggu justru membuat sebagian lanskap tamannya sebagai area persawahan.

Dari keseluruhan luas tanah yang hanya 22 are, keberadaan area persawahan mini tersebut menjadi daya tarik tersendiri; sebuah tempat untuk mengingat kembali bagaimana kehidupan Bali tradisional yang pernah mengaliri nadi kawasan Canggu. Kolam Ikan Koi yang dinaungi dek kayu di area lobby hotel yang bergaya wantilan juga semakin menambah kesan menyatu dengan alam.

Sebuah bangunan dengan desain tropis menaungi 29 kamar kontemporer, termasuk di dalamnya kamar penthouse yang mewah dengan kolam renang pribadi bergaya infinity. Interior bergaya tropis yang mengarisbawahi unsur-unsur alami serta rustik diaksentuasi oleh pemakaian material kayu-kayu bekas yang berkarakter kuat seperti Kayu Ulin. Tidak lupa pula dengan sentuhan etnik khas tradisional Bali yang mampu melebur dalam konsep hunian yang minimalis.

Hasilnya pengunjung dapat merasakan atmosfer Bali yang rileks dan mengalir. Berdasarkan beberapa ulasan di beberapa situs perjalanan, juga dari pengalaman pribadi; yang terbaik dari The Kirana Canggu adalah keramahan dari para stafnya, masakan tradisional yang mampu mencuri perhatian penyuka kuliner dari dalam maupun luar negeri, pijatan dan perawatan tubuh di Kanaya Spa, serta kamar penthouse seluas 99 meter persegi yang menyajikan pemandangan ke arah laut dan matahari tenggelam.

The Kirana Ungasan



Sedikit berbeda dengan The Kirana Canggu yang sengaja meleburkan keberadaannya ke dalam atmosfer Canggu yang dinamis, The Kirana Ungasan justru mengajak pengunjungnya untuk menepi dari keramaian. The Kirana Ungasan adalah sebuah hotel yang bergaya resor, berlokasi di semenanjung selatan Bali. 

Ungasan sendiri merupakan sebuah desa yang berada di kawasan Bali Selatan, lokasinya cukup stategis karena berdekatan dengan kawasan wisata Jimbaran, Pura Uluwatu, dan juga taman budaya yang paling terkenal di Bali, yaitu Garuda Wisnu Kencana Culture Park.

Di masa lalu, belum banyak orang yang melirik kawasan ini karena daerahnya yang bertanah padas. Namun kondisi alam tersebut juga menjadi nilai lebih karena kawasan Ungasan ternyata cukup dekat dengan banyak pantai yang berpasir putih seperti Pantai Pandawa, Padang-Padang, Green Bowl, Balangan, Melasti, dan Karma Kandara.

Perjalanan menuju The Kirana Ungasan diwarnai dengan geliat kehidupan kota pariwisata yang ramai. Tidak jauh dari lokasinya juga terdapat Universitas Udayana sehingga atmosfer kota pariwisata sekaligus aktivitas mahasiswa membaur, menciptakan geliat kehidupan yang berjalan cepat dan ramai. Namun, saat memasuki kawasan resor kita seolah ditarik masuk ke sebuah 'taman rahasia', jauh dari riuhnya aktivitas kota pariwisata.

The Kirana Ungasan menyiapkan 'jineng' atau rumah bergaya lumbung padi sebagai tempat menginapnya. Vegetasi atau aneka tanaman yang melingkupi area resor, juga unsur-unsur alam seperti aliran air, bebatuan alam, kayu-kayu alami tanpa polesan menjadikan atmosfer kembali ke alam terasa lebih kuat.

Di tengah-tengah deretan jineng terdapat kolam renang yang memiliki pemandangan ke arah kota, juga bagian kepala dari Garuda Wisnu Kencana. Konsep yang diusung The Kirana Ungasan adalah konsep ramah lingkungan yang kemudian diterjemahkan ke dalam bangunan yang bermaterial kayu, rumah model panggung yang masih menyisakan lahan atau tanah untuk resapan air, serta penanaman aneka flora untuk penghijauan.

Salah satu daya tarik yang membuat saya ingin tinggal lebih lama di The Kirana Ungasan adalah bagaimana mereka menyajikan makanan dengan bahan-bahan lokal, termasuk di dalamnya hidangan laut yang bahannya diambil dari pasar ikan Jimbaran. Tidak salah jika sate seafoodnya terasa begitu segar dan lezat meskipun dengan bumbu yang minimalis.

Makan malam di pinggir kolam renang sambil menikmati kerlip lampu perkotaan, juga megahnya Garuda Wisnu Kencana, sementara hidangan khas Bali disajikan secara berurutan dari mulai hidangan pembuka sampai hidangan penutup merupakan salah satu momen terbaik ketika saya berkunjung ke The Kirana Ungasan.

Konsep Pariwisata Berkelanjutan.

Kita sudah berjalan-jalan ke dua lokasi yang memiliki dua konsep berbeda. Sekarang saatnya 'mengunjungi' lokasi ketiga yang juga berbeda dengan keduanya, namun memiliki sebuah benang merah yang menyatukan ketiganya, yaitu konsep pariwisata berkelanjutan.

Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan sekarang serta yang akan datang, juga menjawab kebutuhan pengunjung, industri (pariwisata), lingkungan, dan komunitas tuan rumah.

Konsep pariwisata berkelanjutan saat ini sudah menjadi sebuah isu global. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sudah melakukan beberapa pergerakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global akan pariwisata berkelanjutan, dan menjadikan pariwisata sebagai katalis perubahan ke arah yang lebih positif.

Saya ingin sedikit memberikan gambaran dalam bentuk cerita mengenai hal tersebut.

Bayangkan kita menemukan sebuah tempat baru; pantai berpasir putih yang terletak di tengah pegunungan nan hijau. Pantai itu masih sangat bersih, belum ada jejak atau sentuhan orang asing di sana.

Untuk mencapainya kita harus melewati satu-satunya jalan setapak kecil yang membelah hutan dengan pepohonan yang rapat serta tanaman yang lebat. Di kawasan tersebut, penduduk setempat  mengambil ikan sesuai kebutuhan, memanen kelapa dari mulai buah hingga daunnya untuk keperluan sehari-hari, mereka juga berternak dan bercocok tanam di lahan terbatas di dekat perkampungan.

Para perempuan menganyam dan menenun, menghasilkan perabotan rumah dan kain-kain yang cantik. Para penduduk mengambil sesuatu dari alam kemudian memberi kembali kepada alam secara alamiah dan seimbang.

Suatu hari penjelajah datang ke tempat tersebut. Saking terpana dengan keindahannya, dan tidak ingin melupakan momen yang ada ia pun memotret pemandangan tersebut. Ia juga memotret dirinya sendiri dengan latar belakang pemandangan yang sangat cantik. Di sana ia mengobrol dengan penduduk setempat dengan berbagai kendala bahasa. Menemukan bahwa penduduk setempat, terutama anak-anak belum bisa membaca dan menulis.

Penjelajah itu pulang ke tempat asalnya. Tanpa sengaja seorang teman melihat foto miliknya dan ikut terpana, lalu membagikannya di ranah maya. Warganet bertanya-tanya, di mana lokasinya, bagaimana cara pergi ke sana, dan sebagainya.

Kemudian entah sejak kapan aliran orang pun berdatangan ke kawasan pantai yang indah tersebut. Mulanya satu-dua, kemudian rombongan demi rombongan. Jalanan setapak dibersihkan dari tanaman dan semak belukar, diperlebar karena semakin banyak orang berduyun-duyun untuk datang dan mengeluh kakinya sering tertusuk duri.

Orang-orang datang ke pantai, ke hutan, dan kebun-kebun. Mereka membawa barang-barang dari 'dunia asalnya'; makanan dalam kemasan, sikat gigi plastik, kemudian sampah-sampah dibuang serampangan. Hari demi hari sampah anorganik menjadi lebih banyak ketimbang sampah organik yang lebih cepat serta mudah diurai bumi.

Penduduk setempat menjual hasil kriyanya. Kain tenun ditukar sejumlah uang yang kemudian dipakai membayar guru-guru yang didatangkan dari luar untuk mengajar anak-anak setempat membaca dan menulis, atau membeli kebutuhan yang dulu belum terbayangkan. Penduduk setempat membuka rumah tinggalnya untuk tamu-tamu asing, menyiapkan makanan yang mereka inginkan. Kadang bukan lagi makanan yang bahannya diambil dari hasil alam setempat.

Keadaan tersebut terus berjalan, berulang, bertambah besar, bergerak maju untuk mundur, hingga suatu hari pantai yang cantik itu mulai kehilangan pesonanya dan ditinggalkan. Penduduk setempat yang bergerak mengikuti arus perubahan dan mulai melupakan kebiasaan alamiahnya, bertanya-tanya; apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat tinggal mereka?

Mereka yang dahulu merasa cukup dengan makanan hasil alam dan laut mulai kebingungan ketika resep baru yang dibawa pendatang tidak lagi dibeli atau dipesan. Pembuatan kain tenun sudah ditinggalkan karena prosesnya yang lama, digantikan dengan pembuatan kain cap. Tapi kini kain-kain tersebut berjuntai-juntai, tersampir di etalase, tertiup angin, berdebu, dan diacuhkan. Kerang-kerang yang dibuat gantungan kunci juga tidak lagi diminati.

Itu tadi sepenggal gambaran tentang bagaimana sebuah tempat bertransformasi, dari beautiful unknown place menjadi sebuah destinasi wisata yang pada akhirnya ditinggalkan. Konsep pariwisata berkelanjutan mencegah kisah semacam tersebut terjadi, atau setidaknya tidak terulang.

The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination.


Pariwisata berkelanjutan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam usahanya untuk menggerakkan roda perekonomian daerah yang ditunjang dari aktivitas pariwisata. The Kirana Tembok mencoba menjawab tantangan tersebut.

The Kirana Tembok berlokasi di Desa Tembok, sebuah desa yang ada di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Jaraknya dari Singaraja sekitar 35 kilometer, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karangasem.

Bangunan yang ada di The Kirana Tembok mengusung konsep resor. Namun jika dikatakan konsepnya adalah kembali ke alam mungkin menjadi kurang tepat karena The Kirana Tembok merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam Desa Tembok sendiri. Jadi, bukan mengajak orang kembali ke alam, namun menikmati alam itu sendiri, apa adanya karena The Kirana Tembok merupakan perwujudan bagaimana sebuah bangunan menyatu secara harmonis dengan alam.

Dibangun di atas sebuah lahan perkebunan kelapa dengan konsekuensi setiap lahan kosong yang ditutupi oleh semen atau beton, satu meter perseginya harus ditukar dengan delapan Pohon Intaran, membuat pembangunan resor ini dibuat semenyatu mungkin dengan alam pedesaan.

Penggunaan material bambu dan kayu bekas menjadi salah satu bahan bangunan yang dominan digunakan di The Kirana Tembok. 
Rumah Proses. 

Penggunaan material alam terlihat sangat dominan, misalnya dalam penggunaan material kayu bekas untuk tiang-tiang penyangganya, kemudian atapnya juga menggunakan daun lontar atau alang-alang. The Kirana Tembok tidak hanya membangun tempat penginapan, namun juga membangun apa yang dinamakan sebagai 'Rumah Proses.'


Konsep membangun ruang berkesadaran diusung oleh The Kirana Tembok agar pengunjung yang datang menyadari sepenuhnya bahwa keberadaannya tidak lepas dari atmosfer budaya dan kebiasaan masyarakat setempat.

Rumah Proses inilah yang menjadi ruh bagi keberadaan The Kirana Tembok. Yang ingin dihidupkan oleh The Kirana Tembok bukan hanya bagaimana orang-orang atau wisatawan dapat berkunjung dan menikmati tinggal di resor, namun juga bagaimana agar aktivitas penduduk lokal, baik itu budaya, kriya, dan kearifan lokalnya terangkat.

Bukan hanya soal kunjungan tetapi juga soal interaksi dan keberlanjutan. Diharapkan orang-orang yang datang ke The Kirana Tembok khususnya atau Desa Tembok pada umumnya dapat membawa sebuah pengalaman baru yang bisa dibawa pulang, diceritakan, bahkan diaplikasikan.

Aktivitas masyarakat setempat, yaitu memilah cengkeh yang sudah dipetik. 

Desa Tembok sendiri memiliki cukup banyak potensi yang menghidupkan perekonomian masyarakat setempat. Jika melihat dari alamnya, tanah atau kebun di desa tersebut banyak ditumbuhi tanaman Mangga, Kacang Mede, Kelapa, Pohon Aren, dan juga Ketela. Terdapat pula beberapa industri rumahan yang mengolah kerupuk pisang dan kacang asin. Masyarakat setempat juga membuat kerajinan tangan Ingka, sapu lidi, dan anyaman ata.

Tanpa harus mengubah kebiasaan atau kultur yang sudah ada, The Kirana Tembok menggandeng penduduk lokal untuk menunjukkan kepada masyarakat luar bagaimana mereka menjalani kesehariannya sebagai petani, nelayan, dan pengrajin. Saat berkunjung ke Desa Tembok, saya tinggal di rumah penduduk lokal agar dapat menangkap atmosfer pedesaan yang sesungguhnya.

Kamar yang saya tempati selama tinggal di Desa Tejakula, Bali. Tinggal bersama warga atau penduduk setempat membuat saya bisa merasakan secara nyata atmosfer kehidupan Bali yang sesungguhnya. 

Adalah Ibu Ninik yang mengenalkan kepada saya dan teman-teman pada petualangan rasa lokal. Ketika kami baru saja datang di lokasi The Kirana Tembok, Es Kelapa Muda disuguhkan kepada kami. Rasa segarnya menyusutkan rasa panas yang menerpa kami selama perjalanan menuju lokasi yang berada di Kabupaten Buleleng ini. Kelapanya tentu saja dipetik langsung dari kebun, diberi gula aren lokal alami, dan dikucuri sedikit sari jeruk nipis.

Ibu Ninik juga sudah menyiapkan Lak-Lak atau kue apem khas Bali yang berukuran kecil dengan warna permukaan kue kehijauan sebab diberi pewarna alami daun pandan. Rasa tepung beras dan ketannya sangat alami, berpadu dengan parutan kelapa yang segar, dan gula aren cair yang legit.

Suguhan air kelapa dan camilan berupa Lak-Lak itu merupakan salah satu gambaran bagi para pengunjung yang kelak datang ke The Kirana Tembok. Mereka akan dijamu dengan 'welcome drink' dan camilan buatan lokal sebagai uluran tangan selamat datang.

Di 'Rumah Proses', pengunjung nantinya akan diajak untuk membuat gula aren alami. Mulai dari berkunjung ke tempat memanen air nira, sampai proses merebus air nira hingga dicetak menjadi gula aren. Selain membuat gula aren secara alami, pengunjung yang datang ke The Kirana Tembok juga akan belajar membuat minyak kelapa, garam, mengolah kopi, menganyam lontar, melihat penduduk setempat memanen dan memilah cengkeh, serta menikmati masakan lokalnya.

The Kirana Tembok menggabungkan unsur ecolodge, dimana pengunjung atau wisatawan bisa hadir dan menginap di lokasi yang halaman belakangnya adalah sebuah pantai dengan air laut yang tenang. Menjelang senja atau selepas gelap, akan digelar acara bakar ikan. Ikannya berasal dari para nelayan setempat. Ikan disajikan bersama bumbu-bumbu alami dan minuman hangat berupa teh secang.



Suasana pantai dari area belakang resor. Mulai dari saat matahari terbit hingga tenggelam. 

Selain unsur ecolodge, The Kirana juga mengusung konsep agrowisata, dimana pengunjung hadir untuk merasakan pengalaman menjadi masyarakat lokal dengan berbagai aktivitas di 'Rumah Proses'. Sebagian besar lahan yang ada di The Kirana Tembok merupakan lahan pertanian dan perkebunan Kelapa. Ada juga lahan khusus yang disiapkan untuk menanam tanaman hasil bumi yang bisa dikonsumsi.
Suasana resor di malam hari. 

Unsur lainnya yang semakin melengkapi The Kirana Tembok adalah selain pengunjung bisa menginap di area bernuansa resor dengan berbagai fasilitas yang disediakan, terdapat pula rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan daerah atau destinasi wisata yang berkaitan dengan lokasi lainnya. Misalnya karena dekat dengan Desa Karangasem, pengunjung juga dapat mengambil paket wisata budaya untuk berkunjung ke Desa Tenganan yang merupakan Desa Bali yang masih asli.

Kehadiran The Kirana Tembok yang mencoba menggarisbawahi aktivitas masyarakat setempat serta kearifan lokal yang ada telah memenuhi unsur pariwisata berkelanjutan, yaitu dengan memanfaatkan secara optimal sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, mempertahankan proses ekologi dan turut andil dalam melestarikan warisan alam dan keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata.

Dalam hal pemenuhan unsur ekonominya, The Kirana Tembok mencoba menerapkan kegiatan yang memiliki imbas ekonomi untuk jangka panjang, juga tetap menghormati keaslian sosial budaya masyarakat setempat, melestarikan nilai-nilai warisan budaya dan adat yang ada, dan berkontribusi untuk meningkatkan rasa toleransi serta pemahaman antar-budaya.

Dengan terpenuhinya semua unsur tesebut maka tidak salah jika The Kirana Tembok akan menjadi sebuah destinasi pariwisata berkelanjutan yang cukup menjanjikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

Me Time Di Sanasya Spa Tembalang