Menuntaskan Rasa Penasaran dengan Pesona Legenda Dieng dan Banjarnegara (Bag.2)


Pagi datang terlalu cepat hari itu. Rasanya tidur semalam belum sepenuhnya mengisi ulang energi tubuh. Tapi apa boleh buat, kami sudah berjanji untuk bangun pagi-pagi sekali agar bisa menyaksikan matahari terbit di Bukit Sipandu. Saya juga sudah berjanji pada diri sendiri untuk menuntaskan rasa penasaran terhadap pesona legenda Dieng dan Banjarnegara.

Meski sudah berjanji pada diri sendiri, nyatanya tubuh tetap kalah terhadap rasa lelah. Lamat-lamat, sambil membuka mata, saya teringat mimpi semalam.

 "Tatap mataku jika ingin bisa melihat gerbang menuju Negeri di Atas Awan," ujar Kalakamara, dewa penjaga waktu yang dipercaya umat Hindu dan Buddha. Namun, lantaran sosoknya terlalu mengerikan saya memalingkan wajah agar terhindar dari tatapannya.

"Gerbang itu akan terbuka tepat saat matahari terbit, kamu akan melihatnya jika mau menatapku," tambahnya lagi.

Lagi-lagi, saya menggeleng, bangun, dan kemudian terduduk di pinggir tempat tidur dengan jantung berdebar-debar. Untungnya saya berada di dalam kamar D'Qiano yang cukup nyaman, bukan di tengah hutan, dan sosok Kalakamara itu pun sudah hilang dari pandangan.

Teman-teman tampaknya masih enggan untuk menurunkan selimut. Saya melihat arloji, sudah nyaris pukul lima. Saya pun bergegas ke kamar mandi. Seperti dugaan dan pesan yang dikirimkan Kalakamara, saya dan rombongan memang tidak jadi menyaksikan matahari terbit di Bukit Sipandu.

Jangankan melihat gerbang ke Negeri di Atas Awan, menyaksikan matakari terbit pun sepertinya tidak akan kesampaian, gerutu saya di dalam hati.

Pak Chaerudin, yang menjadi pemimpin perjalanan kami sekaligus perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Banjarnegara pun membesarkan hati kami saat berada di dalam bis, "Sebagai gantinya kita akan melihat keindahan Dieng dari Bukit Pangonan. Kalau ke Sipandu, kemungkinan besar kita tidak bisa menyaksikan terbitnya matahari karena sudah kesiangan."

Perjalanan Menyusuri Bukit Pangonan Yang Penuh Kejutan.



Berada di antara dua kabupaten, Dieng dapat dicapai dari dua arah. Dengan jarak tempuh sekitar dua jam dari Banjarnegara dan satu jam dari Wonosobo. Secara geografis Dieng berada pada ketinggian 2.093 m dpl.

Belum banyak orang tahu, penyumbang listrik terbesar pada jaringan Jawa dan Bali adalah PLTP di Dieng yang sekarang dikelola PT. Geo Dipa Energi. PLTP ini ada di beberapa lokasi, salah satunya di kecamatan Batur (Banjarnegara) dan kecamatan Kejajar (Wonosobo). 

Geo Dipa Unit Dieng memiliki 47 sumur. Dari sumur-sumur tersebut terdapat pipa-pipa penghubung untuk menyalurkan panas bumi. Dan pagi itu saya beserta rombongan berjalan-jalan menyusuri pipa-pipa tersebut. Jujur, ini adalah kejutan pertama yang saya dapatkan. Ada sedikit rasa cemas ketika melihat pipa-pipa tersebut.Bagaimana kalau ada ledakan, atau tiba-tiba aliran gas buminya bocor. Ini gasnya beracun atau tidak, dan sebagainya.

Di sisi lain, saya berusaha membuka mata dan pikiran bahwa jika sebuah tempat sudah dibuka menjadi kawasan wisata pasti hal-hal semacam ini sudah sangat dipertimbangkan. Alih-alih berkutat dengan rasa takut, saya pun mencoba mengamati keadaan sekitar: ladang-ladang yang ditanami kentang, pohon Carica yang hanya tumbuh di Dieng, dan tentu saja ketika sampai di puncaknya saya bisa melihat Dieng dari ketinggian.

Trekking ke Dalam Hutan Untuk Kejutan Berikutnya. 

Yes, jadi tingkat pertama tantangan pagi itu sudah dilewati. Berhasil naik ke bagian atas perkebunan kentang, dan sampai di atas bukit untuk melihat Dieng dari ketinggian. Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki sebuah 'gua' yang terbentuk karena rimbunnya semak-semak dan dedaunan untuk menuju sebuah hutan.


Selepas dari 'gua' tadi saya dan rombongan harus menyusuri jalan setapak yang sepanjang kiri dan kanannya ditumbuhi pepohonan dan semak belukar. Mulanya jalan setapak itu landai-landai saja, selanjutnya jalanan mulai menanjak. Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. 

Tidak menyangka kalau pagi itu harus trekking dadakan membuat saya tidak mempersiapkan fisik sebelumnya. Hasilnya ngos-ngosan sepanjang perjalanan. Akhirnya, setelah seperempat jalan barulah tubuh dan napas mulai terbiasa. Semakin masuk ke dalam, suasana hutan yang tenang dan adem semakin terasa. Sebagai hiburan, saya memetik beberapa buah beri liar yang tumbuh di kiri dan kanan jalan setapak.

Rasa beri yang manis dan asam membuat kerongkongan terasa lebih segar, apalagi saat trekking itu saya nggak membawa bekal air minum.

Setelah menempuh jalan yang semakin dan semakin naik, akhirnya kami sampai di sebuah puncak dengan jurang menganga di bawahnya. Di jurang itulah kejutan berikutnya menanti.

"Jadi mana padang savananya, nih?" Begitu tanya beberapa peserta yang ikut trekking. Saya sendiri, kalau tidak dijanjikan bakal medapatkan bonus kejutan di akhir perjalanan pasti ogah trekking begitu tanpa persiapan.

"Itu lihat?" Jawab seseorang menunjukkan pemandangan di bawah tebing.

Saya bengong beberapa detik. Ini melebihi ekspektasi saya sebelumnya. Setara dengan berhasil melihat gerbang menuju Negeri di Atas Awan.

Padang Savana Bukit Pangonan. 

Kalau puas melihat dari kejauhan, ya di sini saja. Duduk beristirahat di sebuah bangku yang terbuat dari gelondongan kayu dan menatap Padang Savana di bawah sana.


Tapi saya sih, mau turun ke bawah. Menyentuh langsung ilalangnya, dan menjejakkan kaki di Padang Savana yang konon dulunya adalah sebuah telaga.

Pilihannya, kalau sudah turun berarti saya harus kembali menempuh perjalanan pulang yang menanjak. Mau yang mana?

Ketimbang menatap mata Kalakamara, saya memilih untuk turun saja. Perkara harus naik lagi, ya hidup mah gitu, kalau sudah turun sampai di titik paling bawah, pilihannya cuma naik lagi, kan. Seenggaknya di bawah saya bakal berada di sebuah Padang Savana terindah yang pernah saya lihat selama ini.

Begitu menjejakkan kaki di atasnya, saya langsung melihat ke sekeliling. Rupanya padang ini memang tersembunyi di tengah-tengah hutan. Menduga-duga sendiri, mungkinkan dulunya ini juga kawah? Yang kemudian tidak aktif?

Ternyata bukan. Padang savana ini dulunya adalah bendungan, atau sebuah tempat yang dimaksudkan akan dijadikan oleh telaga oleh seseorang. Namun karena ada pertengkaran antara kakak-beradik, aliran air yang harusnya mengalir ke telaga tersebut justru diarahkan menuju Telaga Merdada.

"Mas, pancen kowe ki males ngangon! Embungmu tak surubne wae. Tak gawe goa ben banyune mlayu bendunganku!" 

Bendungan milik Si Kakak pun surut airnya hingga berubah menjadi Padang Savana. Meski begitu, penduduk setempat tetap menamainya sebagai Telaga Semurub.

Nggak Pengin Pulang, Tapi Buaya Di Serulingmas Sudah Menunggu. 

Tibalah saatnya melepaskan diri dari khayalan dan kembali ke kenyataan. Berada di tengah-tengah padang savana Bukit Pangonan memang seperti berada di alam dan dunia lain. Waktu berjalan lebih lamban, dan rasanya ingin terus berada di tengah padang selamanya. Apalagi mengingat perjalanan pulang yang menanjak.

Motivasinya cuma satu, makan atau kelaparan. Demi bisa kembali ke D'Qiano, saya pun memerintah kaki untuk kembali berjalan menapaki jalan setapak yang terjal dan menanjak. Kuncinya adalah punya temen ngobrol, dan melakukan perjalanan secepat yang kita bisa. Karena kalau sedikit-sedikit berhenti malah bikin capek.

Tidak terasa, perjalanan menanjak pun terlewati, dan segelas minuman berupa manisan carica dan terong belanda pun sudah menunggu untuk membasahi kerongkongan. Setelah berisitirahat sejenak, kami kembali ke D'Qiano untuk sarapan pagi dan melanjutkan perjalanan menuju ke Serulingmas.

Terakhir kali ke kebun binatang itu, kayaknya sudah lima atau enam tahun lalu. Jujur, kadang agak malas main ke kebun binatang karena seringnya apa yang bisa dilihat nggak sesuai sama yang diharapkan.


Serulingmas tampaknya sudah melakukan cukup banyak pembenahan serta manajemen. Awalnya bernama Taman Rekreasi Serulingmas. Dibangun pada tahun 1996 oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara dengan bantuan Yayasan Serulingmas (Seruan Eling Banyumas). TRMS Serulingmas kemudian ditetapkan sebagai lembaga konservasi pada tanggal 21 Agustus 1997 dan disahkan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada Kabinet Pembangunan IV (1993-1998) Jendral TNI Purn. H. Soesilo Soedarman.

Sejak pertama dibangun, TRMS Serulingmas dikelola oleh UPT Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara. Pada tahun 2018, kepengurusan TRMS Serulingmas berganti menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sehingga berganti nama menjadi Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Serulingmas Banjarnegara Interactive Zoo.

Secara keseluruhan, kondisi Serulingmas lebih hijau dan rimbun dibanding beberapa kebun binatang lokal yang pernah saya kunjungi. Tampak para petugas juga sangat concern terhadap pengunjung sekaligus hewan-hewan yang tinggal di dalamnya. Sebenarnya, dari Serulingmas sendiri kita bisa melihat Sungai Serayu di sisinya. Ada juga bendungan Banjarcahyana, yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tahun 1939. Jadi secara pemandangan, Serulingmas memang memiliki beberapa daya tarik.

Mengarungi Serayu Bersama PIKAS Sebelum Hujan Lebat Turun. 

Awan gelap menggelayuti langit Banjarnegara siang itu. Belum sampai ketemu Si Buaya darat di Serulingmas, saya dan rombongan langsung bergegas kembali ke bis untuk menuju ke The Pikas Artventure Resort, sebuah kawasan wisata mengarungi sungai serayu dengan mengusung konsep green-art-adventure.




"Kalau nggak buru-buru, nanti hujan lebat turun, dan kita batal rafting," ujar salah seorang dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara.

Saya tahu bahwa hujan lebat bukan komponen yang tepat untuk melengkapi uji adrenalin mengarungi Sungai Serayu ini. Bakal terlalu beresiko. Apalagi kalau ada kiriman banjir dari atas. Rasa kapok melakukan rafting selama lima jam, sekitar delapan tahun silam rupanya sudah luntur. Saya ingin mengulang kesenangan itu lagi. Jadi, saya pun bergegas berganti pakaian dan mengenakan perlengkapan rafting.

Sesampainya di tempat rafting, jantung berdebar lebih kencang dari biasanya. Apalagi saat mendengarkan instruktur memaparkan perihal keselamatan saat mengarungi sungai. "Saya kok, lebih deg-degan dibanding sebelumnya, ya. Ini kayaknya nggak main-main, deh." begitu seloroh saya pada Mas Wahid yang akan satu tim dengan perahu karet yang nanti akan kami tumpangi.

Ada rasa ingin berbalik arah dan mengurungkan niat, namun ketika melihat mendung di langit yang mulai surut, saya pun menantang diri sendiri. Bismillah, semoga semua aman dan lancar.

Begitu perahu menepi di resor milik The Pikas, hati kembali tenang. Pengalaman rafting di Serayu bisa dibilang memang yang terbaik. Kelebihan lokasi ini sebagai arena arung jeram adalah karena Sungai Serayu sendiri berukuran lebih lebar, memiliki rute pengarungan yang panjang, debit air yang merata sepanjang tahun, serta pemandangan sekitar sungai serayu yang indah.

Soal kebersamaan dan keamanan juga nggak perlu diragukan lagi. Tim dari The Pikas terbilang cekatan dan sangat mudah berbaur dengan para peserta rafting. Ini yang memberikan nilai lebih lainnya.

Menembus Lorong Waktu dan Menikmati Kuliner Tempo Dulu di Pasar Lodrajaya. 



Minggu pagi, setelah satu malam mengistirahatkan badan yang kelelahan karena mengarungi Sungai Serayu, bis yang kami tumpangi pun kembali meluncur menuju ke Desa Winong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara.

Tidak ada yang mengira bahwa tidak jauh dari TPA Winong Banjanegara, tidak jauh dari tempat pembuatan batu bata, ada sebuah pasar yang membuat kita seolah terseret  masuk ke masa silam.

Pasar Lodrajaya namanya. Di sana, uang yang kita bawa harus ditukat terlebih dahulu dengan kepingan ketip yang terbuat dari bambu. Tidak ada kemasan pembungkus makanan yang terbuat dari plastik di sana. Semua menggunakan bahan-bahan alam, seperti daun pisang, batok kelapa, atau tas anyaman.

Kuliner yang disajikan adalah makanan khas Banjarnegara, beberapa di antaranya sudah cukup langka, terutama bagi masyarakat perkotaan. Selain kuliner, kita juga bisa menjajal aneka permainan tradisional, seperti Enggrang.

Mengenal Batik Gumelem di Sentra Batik Mirah dan Melihat Pembuatan Keramik Klampok.

Perjalanan dilanjutkan ke ujung barat Banjarnegara, tepatnya di Kecamatan Susukan. Di daerah ini terdapat sebuah sentra pembuatan batik skala rumahan, yaitu Sentra batik Mirah yang dipelopori oleh Ibu Sumirah.


Mengenal jenis batik lainnya kembali membuat saya menyadari betapa kayanya tradisi dan budaya negeri ini. Di Sentra Batik Mirah, saya mendapati bahwa kebanyakan para pembatik mengambil unsur-unsur alam yang mereka temui sehari-hari untuk motif batiknya.


Misalnya nih, karena Banjarnegara cukup identik dengan Sungai Serayu maka muncul batik dengan motif Kali Serayu, atau buah-buahan lokal yang terkenal, yaitu Salak. Ada juga motif Dawetan, diambil dari minuman khas Banjarnegara, yaitu dawet.

Warna-warna yang digunakan condong ke arah warna tanah, seperti coklat, abu-bau, dan hitam. Namun, banyak juga ditemukan warna-warna yang relatif cerah seperti hijau, merah, dan kuning.

Puas belajar membatik dan melihat langkah demi langkah dari proses pembuatan Batik Gumelem, seperti pencoletan dan nglorod, saya dan rombongan pun melanjutkan perjalanan untuk melihat pembuatan Keramik Klampok.


Mengendapkan Rasa Letih di Tampo Mas.

Sepanjang pagi menuju siang di hari minggu itu, cukup banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan soal kekayaan budaya dan pariwisata Banjarnegara. Rasa penasaran saya terhadap beberapa legenda juga sudah mulai terjawab.

Baru saja memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran, tiba-tiba satu lagi destinasi wisata bernama Tampo Mas membuat rasa penasaran saya kembali muncul. Tampo Mas adalah sebuah bukit padas, yang di tengahnya terdapat sebuah danau buatan.

Lokasinya berada di Desa Masaran, Kecamatan Pagedongan. Dulunya Tampo Mas ini adalah sebuah bukit yang cukup tinggi, hingga penduduk sekitar menyebutnya sebagai gunung. Kemudian, bukit ini diledakkan, dan bebatuannya digunakan untuk mengurug Waduk Mrica.

Ledakan itu membuat bukit Tampo Mas terbelah, dindingnya memiliki tekstur yang unik, seolah seperti dipahat. Di tengah-tengah bukit tersebut terbentuklah danau buatan yang banyak ditumbuhi oleh bunga teratai.

Waktu yang tepat untuk berkunjung ke Tampo Mas adalah pada saat pagi hari, sehingga pengunjung bisa melihat bunga-bunga teratai yang bermekaran di tengah danaunya. Atraksi wisata yang bisa dilakukan di tempat ini adalah dengan mengendarai getek atau perahu bermotor untuk berkeliling danau.

Penasaran Yang Belum Titik. 



Kalau ada kesempatan untuk kembali lagi ke kawasan Dieng dan Banjarnegara, salah satu tempat yang ingin saya datangi adalah Gunung Prau. Mungkin saja dari sana saya bisa melihat terbitnya matahari, dan secara kasat mata penampakan gerbang Negeri di Atas Awan justru terlihat dari sana.

Bahkan mungkin rasa penasaran saya bertumbuh, tidak hanya ingin menyaksikan terbitnya matahari menyinari lorong awan menuju jalan ke Negeri di Atas Awan, tetapi janji untuk bisa melihat golden sunrise terbaik se-Asia Tenggara saat pagi tiba, indahnya Bumi Sang Dhyang dan Telaga Warna dari kejauhan, padang bunga daisy, Bukit Teletubies dan puncak-puncak gunung di pulau Jawa seperti Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Slamet, yang menyembul di atas awan.

Karena rasa penasaran ini belum titik, maka doakan agar kisah perjalanan ini bisa berlanjut, ya. Sampai ketemu di padang bunga daisy Gunung Prau. Di sana, kelak akan kusampaikan salam pada Kalakamara bahwa tanpa menatapnya pun, aku masih bisa melihat gerbang-gerbang keindahan lain di muka bumi ini. Salam #AyoPlesirMaringBanjarnegara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination