Seni Bersikap Bodo Amat Di Media Sosial Yang Seharusnya Dikuasai Generasi Milenial & Z


Salah satu kemampuan yang hilang dari generasi milenial, juga generasi Z adalah kemampuan untuk secara jujur mengakses sumber kebahagiaan yang otentik di dalam diri. Mulai ada sebuah pergeseran; jika itu bukan yang diinginkan dan dilakukan kebanyakan orang di media sosial, berarti itu bukan sebuah pencapaian atau kebahagiaan. Sudah seharusnya seni bersikap bodo amat di media sosial perlu dikuasai oleh generasi milenial dan generasi Z.

Bahagia untuk siapa? 


Apa yang sebenar-benarnya membuat seseorang merasa bahagia? Pertanyaan ini saya lemparkan kepada diri sendiri saat akan mengunggah foto salah satu sudut ruangan di rumah yang baru saja selesai saya rapikan sehingga kelihatan instagramable.

Meskipun mendapatkan kepuasan dan merasakan kebahagiaan tersendiri ketika berhasil beres-beres dan me-make over salah satu sudut ruangan tersebut, namun ternyata masih muncul keinginan untuk mendapatkan apresiasi lebih dari luar. Saya lalu bertanya pada diri sendiri : "tidakkah cukup merasa nyaman dan bahagia untuk diri sendiri?"

Apa yang sebenarnya saya inginkan? Merasa senang karena sudut rumah jadi bersih dan cantik? Atau merasa bahagia karena sudut rumah yang saya unggah fotonya di media sosial mendapatkan ratusan 'love'? Apakah banyaknya ikon 'love' dan 'jempol' akan semakin meneguhkan kebahagiaan tersebut?

Belakangan saya jadi sadar, terkadang ada hal-hal yang dilakukan bukan karena kita memang ingin melakukannya, melainkan karena tekanan sosial. Kita ingin traveling karena semua orang memperlihatkan foto-foto traveling-nya di media sosial, misalnya. Kita ingin mencicipi makanan yang sebelumnya kita tidak pernah tahu itu ada di muka bumi ini, lagi-lagi karena melihat orang lain mengunggah fotonya di media sosial.

Perlahan kita jadi sulit membedakan motivasi perilaku kita, apakah untuk itu didorong karena kebutuhan atau sekadar keinginan. Apakah untuk memberi perhatian pada diri sendiri atau justru mencari perhatian.

Saya pernah membaca buku berjudul The Great Shifting yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali, di buku tersebut ia memberi contoh fenomena yang saya bicarakan dengan memperlihatkan sebuah penginapan yang menempel di sebuah tebing. Untuk sampai di dalam penginapan tersebut, orang-orang harus memanjat tebing dengan teknik fia verata, atau menapaki anak tangga besi yang ditempelkan di dinding tebing.

Untuk sampai ke atas, seseorang harus memanjatnya dan menggunakan tali pengaman. Pertanyaannya adalah, jika aktivitas yang cukup menantang itu tidak memungkinkan seseorang untuk bisa mengunggah foto mereka ke media sosial, apakah orang-orang masih ingin melakukannya?

Fenomena lainnya adalah soal wisata selfie. Saat ini banyak destinasi wisata menyiapkan spot selfie, bahkan ada yang di dasar danau, lengkap dengan berbagai propertinya. Kira-kira, jika tidak ada 'imbalan' untuk bisa mengunggah hasil berfoto di dasar danau tersebut, apakah orang-orang masih dengan senang hati untuk menyelam atau berdiri di tepi tebing?

Pertanyaan yang sama juga bisa berlaku untuk banyak hal. Apakah kita masih akan memasak dan menghias masakan itu dengan cantik jika tidak untuk memotretnya lalu mengunggahnya ke media sosial? Apakah kita masih akan 'berpose' dengan pasangan atau keluarga, menunjukkan kekompakkan dan keromantisan, jika tidak ada kesempatan untuk memamerkannya?

Baiklah, mungkin jadi nggak fair kalau kita selalu melihat dengan sebelah mata motivasi orang-orang mengunggah foto di media sosial. Beberapa memang melakukan hal tersebut untuk menyimpan kenangan, ada juga yang karena media sosial memang termasuk ke dalam ranah pekerjaannya, ada juga yang menggunakan media sosial untuk membangun personal branding-nya, dan masih banyak alasan positif lainnya.


Yang seringkali jadi masalah adalah menjadikan media sosial sebagai ukuran kebahagiaan kita sendiri. Kita tidak pernah benar-benar tahu niat seseorang. Kalau Tuhan menilai sebuah tindakan dari niatnya, maka orang-orang justru melihat dari presentasinya, atau apa yang ditunjukkan. Kita tidak bisa menebak niat orang, bahkan memberikan cap atau asumsi semacam: "tuh, orang kerjaannya pamer jalan-jalan terus..."

Media sosial adalah alat pembanding dan penilaian yang buruk, kecuali kita benar-benar tahu niat seseorang itu apa. Atau mungkin ketika tujuan seseorang menggunakan media sosial sudah jelas tertera di bio-nya maka kita baru bisa membuat penilaian. Itu pun lagi-lagi harus melalui tahap verifikasi terlebih dahulu. Budayakan bertanya sebelum menyimpulkan adalah salah satu cara hidup secure di era sosial media.

Lalu kenapa saya justru menyarankan generasi milenial dan Z untuk bersikap bodo amat, dan gimana dengan generasi lainnya? Sebenernya, ini berlaku buat semua generasi yang menggunakan media sosial. Tetapi karena kedua generasi tersebutlah yang sebenarnya paling banyak menggunakan media sosial maka mungkin kedua generasi itulah yang sedikit banyak harus menguasai sikap 'bodo amat'.

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 mencatat sebanyak 143,3 juta pengguna internet. Jika dilihat data di atas berarti dengan populasi Indonesia sejumlah 262 juta jiwa, penetrasi pengguna internet di Indonesia sekitar 54,7 persen.

APJII juga telah mengeluarkan data mengenai penetrasi pengguna internet di Indonesia dan dibagi beberapa kategori usia. Yang menarik adalah penetrasi tersebut didominasi oleh Generasi Z dan Generasi Milenial.

Generasi Z adalah adalah kelahiran dari tahun 1996-2010, sedangkan generasi Milenial lahir antara tahun 1977-1995. Dari kedua generasi tersebut mendominasi pengguna internet di Indonesia. Generasi Z sebanyak 75,50 persen sedangkan generasi Milenial 74,23 persen.


Jadi sikap bodo amat yang seperti apa? 


Bodo amat, dengan apa yang saya lihat di media sosial karena apapun itu saya harus hidup di dunia nyata, bukan dalam angan-angan atau bayangan kebahagiaan milik orang lain. Bodo amat karena saya harus membuat ukuran kebahagiaan saya sendiri, dan media sosial bukan standarnya.

Kehidupan yang sesungguhnya terjadi di luar Google, Instagram, Twitter, Facebook, dan Youtube. Beberapa dari kita menjadikan media sosial sebagai satu-satunya data rujukan tentang apa yang sedang bergulir di dunia ini. Seolah-olah kejadian yang viral adalah kehidupan, sementara hal-hal kecil yang tidak terekam di media sosial bukanlah sebuah eksistensi atau kenyataan.

Adakalanya kita perlu turun langsung, menapak di bumi untuk mempelajari hal-hal yang tidak terekam di media sosial. Misalnya kerja keras. Kerja keras di balik sebuah foto 'cantik' yang memamerkan kulit yang mulus adalah hasil dari menahan kantuk sepulang kerja untuk selalu melakukan perawatan wajah double cleansing rutin atau apalah sebelum tidur. Perut sixpack adalah hasil bersakit-sakit di gym, dan sebagainya.

Media sosial menampilkan hasil, sementara untuk melihat proses kita harus turun ke lapangan.

Bersikap bodo amat juga diharuskan ketika seseorang mulai dibanjiri informasi melebihi apa yang seharusnya. Kadang kita harus memilah mana yang seharusnya kita konsumsi mana yang tidak. Demi kesehatan jiwa dan pikiran. Semakin banyak memberikan perhatian ke luar, semakin sedikit waktu yang kita gunakan untuk benar-benar bertanya : inikah yang kita butuhkan?

Revolusi Industri 4.0 sudah berjalan, sementara generasi muda Indonesia sesungguhnya belum sepenuhnya siap. Kita masih menjadi pengguna teknologi, belum bertransformasi menjadi pencipta teknologi.

Terkadang, kita juga masih keliru membidik fokus. Kita justru memberikan sikap bodo amat pada hal yang keliru; bodo amat, yang penting punya ponsel pintar dengan aneka aplikasi media sosial. Sehingga tanpa sadar, kita sebenarnya berada di mata rantai terakhir dalam siklus rantai makanan teknologi. Dimana bangsa lain memproduksi dan kita memakai.

Sesekali seimbangkanlah diri dengan bersikap bodo amat agar bisa membalikkan peran di siklus mata rantai.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

Me Time Di Sanasya Spa Tembalang