Bekerja Itu Soal Mindset dan Bagaimana Menemukan Ikigai Dalam Hidupmu
Bekerja itu soal mindset. Sejak bangun tidur hingga tidur lagi, hidup tak lepas dari yang namanya 'bekerja'. Kata 'bangun' dan 'tidur' saja merupakan kata kerja. Bekerja, bergerak, adalah pertanda seseorang itu
Bekerja Itu Soal Mindset
Secara sederhana, yang membedakan adalah efek yang ditimbulkan dari bekerja itu sendiri. Baik yang berupa imbalan bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. Atau dampak dan pengaruhnya bagi diri sendiri serta orang lain. Kalau bicara soal bekerja, saya ingat kalimat Buya Hamka yang begitu menohok ini :"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja."
Selepas membuka mata, lalu bangun dari tempat tidur, mungkin yang kita kerjakan pertama kali adalah melipat selimut dan menata bantal-guling agar rapi kembali. Apakah itu dikategorikan sebagai bekerja? Buat sebagian orang, itu rutinitas belaka, meski ada dampak yang diperoleh dari rutinitas tersebut, yaitu ranjang yang terjaga kerapiannya. Namun bagi seorang housekeeper di sebuah hotel, membersihkan dan merapikan kamar hotel adalah pekerjaan, imbalannya gaji bulanan.
Menjerang air panas, menanak nasi, menyiapkan bekal dan sarapan, bagi sebagian orang dikategorikan rutinitas rumah tangga belaka, meski lagi-lagi memiliki dampak berupa manfaat bagi anggota keluarga yang lain. Jika seorang ibu yang melakukan semua itu maka dianggap sebagai sebuah rutinitas saja, sedangkan seorang asisten rumah tangga bisa jadi menganggapnya bagian dari tugas pekerjaannya.
Mengantar anak ke sekolah, berbelanja ke pasar, kemudian memasak lalu membersihkan rumah, bagi sebagian orang dianggap; "Ah, biasalah rutinitas IRT ya, begitu itu." meskipun bermanfaat luas untuk seluruh mahluk hidup penghuni rumah ya, kan. Uniknya, bagi sebagian ibu-ibu, aktivitas tersebut bisa saja dikategorikan sebagai pekerjaan, namun ada juga yang menganggapnya sekadar rutinitas belaka.
Saya mengenal seorang ibu profesional yang memiliki deskripsi pekerjaan berupa hal-hal yang bagi sebagian orang dianggap rutinitas biasa. Namun baginya, menyiapkan anak untuk ke sekolah, mengantarnya, menjemputnya, mendampingi mereka belajar, memilihkan aktivitas tambahan di luar sekolah adalah sebuah pekerjaan serius meski imbalannya tidak langsung berupa uang.
Orang yang mengerjakan sesuatu karena panggilan jiwanya, atau karena ia begitu menikmati prosesnya, mungkin tidak akan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah pekerjaan. Bisa jadi ia menyebutnya sebagai hobi, passion, panggilan jiwa, atau Ikigai.
Ikigai secara sederhana diterjemahkan sebagai "the reason of being." atau "alasan kita bangun di pagi hari." Apa yang menggerakkan hidupmu, apa yang memotivasimu untuk melakukan sesuatu hal? Apa yang membuatmu merasa 'hidup', itulah Ikigai.
Ketika membaca "The Book of Ikigai" yang ditulis oleh Ken Mogi, kemudian saat menonton Film Dokumenter Jiro Dream of Sushi, saya mendapati satu benang merah tentang bagaimana Ikigai membuat tokoh-tokoh dalam film dan buku tersebut mengerjakan sesuatu yang bagi kita terasa receh, namun buat mereka menjadi sesuatu yang begitu memotivasi dan menggerakkan hidup mereka.
Hiroki Fujita bangun pukul dua dini hari setiap harinya untuk mendapatkan ikan tuna terbaik bagi pelanggannya. "Memilih tuna yang baik merupakan seni tersendiri," ucap Fujita. Di Pasar Tsukiji ikan tuna dijual secara utuh. Pedagang tidak bisa melihat bagian dalam ikan. Satu-satunya cara hanyalah dengan melihat bagian permukaan daging di dekat sirip ekor yang telah dipotong dari sisa tubuh ikan itu. Fujita memilih pagi hari untuk mendapatkan tuna terbaik, dan itu yang membuatnya disegani para pelanggan.
Selama hidup benarkah kita bisa melepaskan diri sepenuhnya dari yang namanya bekerja?
Pernah dengar, katanya orang kalau sudah punya kebebasan finasial bisa pensiun dini dan tidak perlu bekerja lagi.
Apabila mengacu pada pernyataan tersebut maka bekerja yang dimaksud adalah mencari nafkah penghidupan atau materi. Yang artinya, bekerja sama dengan (=) mencari uang. Lalu apakah yang dimaksud dengan kebebasan finansial itu? Apakah artinya orang yang sudah bebas secara finansial tidak lagi bekerja?
Tidak semua orang yang memiliki kebebasan finansial melakukan pensiun dini. Tidak semua orang yang pensiun dini memilih untuk tidak bekerja, atau tidak melakukan apa-apa lagi.
Jiro Ono, koki bintang-tiga-Michelin paling tua di dunia. Usianya sudah 91 tahun. Restonya, Sukibayashi Jiro, pernah didatangi Obama ketika melakukan kunjungan resmi ke Jepang pada tahun 2014. Restonya menjual sushi yang terbaik di Jepang. Ia sudah mencapai kebebasan finasial bahkan penghargaan dan pengakuan dunia.
Tapi apa yang membuat Jiro Ono tetap 'bekerja' di usia tersebut? Bukankah ia bisa mewariskan restoran kepada anak-anaknya, atau cukup dengan mempekerjakan pegawai kepercayaannya? Ia tetap 'bekerja' karena membuat Sushi adalah Ikigai-nya.
Menerima pujian dari Obama bisa jadi sumber Ikigai bagi Jiro Ono, diakui sebagai koki bintang-tiga-Michelin yang tertua juga merupakan sumber Ikigai yang sangat menyenangkan.
Namun, Ono ternyata bisa menemukan Ikigai hanya dari meyuguhkan tuna terlezat dan melihat pelanggannya tersenyum. Atau ia dapat merasakan Ikigai dengan cara sesederhana ketika ia berjalan pulang dari pasar ikan Tsukiji, kemudian melihat sinar matahari menembus dedaunan di saat ia menuju restorannya di pusat kota Tokyo. Hatinya terasa hangat, ia terus merasa hidup dengan apa yang dikerjakannya.
Di Indonesia, ada Pak Irwan Hidayat pemilik Sidomuncul Grup. Soal kebebasan finansial, tentu beliau sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak tahun 2010 ia mendermakan uangnya sekitar US$ 2,5 juta per tahun untuk operasi mata gratis bagi para penderita katarak, dan bekerjasama dengan 97 rumah sakit swasta dan 100 rumah sakit militer se Indonesia untuk itu.
Dulu, ketika baru merintis usaha, apakah tujuannya membangun Sidomuncul hanya untuk mencari kebebasan finansial semata? Bisa jadi yang diinginkannya justru untuk dapat bermanfaat bagi lebih banyak orang. Karena meski sudah 'bebas secara finasial' ia pun masih terus 'bekerja'. Tentunya jadwal beliau masih jauh lebih padat ketimbang jadwal kita
Bagaimana Menemukan Ikigai Dalam Hidupmu
Dunia dipenuhi banyak retorika. Kita sering terperdaya kalimat motivator yang tampak agung dan ideal. Padahal kalau ditelaah, untuk mencapai sebagian dari sepenggal kalimat yang ideal tersebut, tidak sesederhana yang dibayangkan.Contohnya 'kalimat kebebasan waktu dan kebebasan finansial'. Atau kalimat 'Biarkan uang bekerja untuk kita'. Saya kok lebih suka nanem pohon duit yang bisa dipanen ya, ketimbang uang yang bekerja sama saya, bingung nanti ngegajinya pakai apa.
Ketimbang terpukau dengan kalimat-kalimat para motivator itu, saya kok lebih suka dengan kalimat yang membumi ini, ya.
"When you live for strong purpose, then hardwork isn't an option it's a necessity."
Kalau kamu punya tujuan hidup yang kuat, maka bekerja keras bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan. Kamu harus selalu punya alasan yang kuat untuk bangun dari tempat tidur dan memulai hari. Uang tidak selamanya memotivasi seseorang untuk bangun dari tempat tidur, terkadang bayangan bahwa hari ini adalah satu-satunya hari yang tersisa bagi kita, justru membuat kita bergegas untuk menjalankan aktivitas.
Seseorang yang tujuan hidupnya hanya untuk mencapai kebebasan finasial mungkin cuma membuat standar penghasilan berupa uang sebagai tolak ukurnya. Sementara tidak semua hal di muka bumi ini bisa dibeli dengan uang. Punya uang banyak, bisa membeli apapun tanpa memikirkan harganya memang menyenangkan, tapi benarkah semua hal di muka bumi ini bisa dinilai dengan uang?
Seseorang yang mengidamkan kebebasan waktu biasanya tidak melakukan pekerjaan yang ia sukai dalam hidupnya. Orang yang mencintai pekerjaannya tidak pernah merasa terpenjara oleh waktu. Seseorang yang menyukai apa yang ia kerjakan dalam hidup tidak lagi memiliki waktu untuk memikirkan mengapa orang lain terlihat lebih sibuk dan produktif ketimbang dirinya.
Masih ingat cerita teman saya, seorang ibu yang begitu mencintai pekerjaannya mengantar-jemput anak sekolah? Menurut saya, aktivitas itulah Ikigai-nya. Saya juga mengenal seorang artisan makanan sehat di Jogja yang begitu mendedikasikan hidupnya untuk membuat masakan sehat berbahan lokal. Apa yang di mata kita tampak receh, di mata orang lain adalah Ikigai-nya.
Saya suka menulis sejak di bangku SD. Kebetulan saya dikelilingi orang dewasa yang suka bepergian. Ayah saya frequent traveler karena pekerjaannya. Kakek saya sangat suka berjejaring selagi berdagang, sementara Nenek saya adalah pengusaha bakeri dan memiliki warung kelontong. Kakek dari pihak ayah meski seorang tentara sangat suka prakarya. Semua perempuan di keluarga saya bekerja di luar rumah dan punya karir yang bagus. Tidak ada satu pun yang tidak berhasil mendidik anak sekaligus bekerja.
Ikigai saya terbentuk oleh relasi-relasi spesial dengan mereka, juga dari berbagai hal menarik yang kemudian menjadi sesuatu yang saya pelajari lebih dalam, salah satunya menulis. Semua orang bisa menemukan Ikigai-nya sendiri, dengan mudah, selama ia mau melihat ke dalam; mau mencoba, belajar lebih keras, tidak membandingkan, dan mensyukuri talenta yang dimilikinya.
Ikigai tidak selalu berupa pekerjaan yang formal. Pekerjaan terdengar terlalu teknis bagi sebagian orang. Saya sendiri lebih suka mengingatkan diri sendiri bahwa kita lahir dengan seperangkat peran. Bukan hanya satu peran.
Makin dewasa, peran kita makin banyak. Yang harus dipikirkan bukan lagi bisakah saya menghasilkan sesuatu dari pekerjaan saya, tetapi apakah peran saya bisa bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Temukan peran apa yang paling sesuai untuk hidupmu. Fokus hanya pada dirimu, bukan apa yang dikerjakan orang lain.
"Si ini tuh melakukan pekerjaan itu lho, terus gimana ya?
"Eh apa dia itu dapat restu dari keluarganya ya, buat kerja kantoran?"
"Dia kok bisa sukses ya di kerjaan, anak-anaknya gimana terus belajarnya, kalau pas ditingal-tinggal?"
"Dia dapet duit berapa sih, dari nulis. Kok bisa pergi-pergi terus?"
Dan seterusnya-seterusnya....
Lalu apa perlunya kita mengkomentari pilihan 'Ikigai' setiap orang? Daripada sibuk begitu kan, mending mencari apa Ikigai kita sendiri, toh.
Kalau yang diputar di kepala masih seputar ngomenin orang lain, atau keputusan dan tujuanmu masih berdasarkan proyeksi-proyeksi kelemahan diri yang kemudian dilemparkan kepada orang lain maka shut up that conversation! Karena kamu buang-buang waktu.
Temukan apa yang kamu cintai, yang kamu mahir melakukannya, yang dunia butuhkan, dan kamu bisa mendapatkan penghasilan atau manfaat dari situ. Fokus di situ. Fokus ke dalam, bukan keluar.
Kata Jiro Ono : Once you decide on your occupation, you must immerse yourself in your work. You have to fall in love with your work. Never complain about your job_you must dedicate your life to mastering your skill. That's the secret of success, and is the key to being regarded honorably.
Selesai menulis ini membuat saya merasa lega. Semua yang menyesaki kepala terasa mengalir. Sambil saya sendiri mendapatkan pencerahan dan semangat. Itulah mengapa menulis adalah Ikigai saya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Bacaan dan Film untuk tulisan ini :
- The Book of Ikigai oleh Ken Mogi, Ph.D.
- The Life Changing Magic of Not Giving a F**k oleh Sarah Knight
- Jiro Dream of Sushi.
Komentar
Posting Komentar