Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup
Dalam kurun waktu satu setengah tahun ini ada dua kisah inspiratif di luar sana yang memiliki benang merah dengan apa yang sedang saya alami. Mari mengingatkan diri sendiri tentang pelajaran hidup apa saja yang harus dimaknai dalam waktu-waktu belakangan ini. Tulisan ini adalah sebuah catatan, sedikit mengandung curcol, yang semoga bisa menjadi inspirasi dan semangat untuk menjalani hidup buat saya sendiri dan orang yang membacanya. Apa saja kisahnya?
1. Kalau kamu sedang belajar memahami soal proses dan hasil, ingatlah kisah Jadav Payeng dan hutannya.
Di usia enam belas tahun, ketika Jadav Payeng muda baru saja pulang sekolah, di jalan menuju ke desanya yang gersang ia mendapati ratusan ular menggeliat kepanasan di atas pasir yang kering. Ia tahu, tanpa pepohonan, ular-ular itu tidak memiliki tempat tinggal. Akibatnya, ketika banjir datang dan menghancurkan hutan Assam, ular-ular itu pun ikut tersapu air dan mati. Hatinya hancur menyaksikan pemandangan tersebut.
Jadav Payeng kemudian pergi ke desa tetangga, Deori untuk meminta nasehat tentang kondisi lingkungannya yang kering dan gersang. Juga soal ular-ular yang tidak memiliki rumah. Penduduk Deori kemudian menawarkan kepadanya 50 benih tanaman dan 25 tanaman bambu. Jadav diberi tahu bahwa di mana ada pohon, maka akan ada burung, dan di mana ada burung, akan ada telur burung, dan itu berarti ada makanan untuk ular serta sejenisnya.
Jadav Payeng pulang sambil membawa benih dan bibit tanaman itu. Ia mulai menanam bibit pohon di tengah gurun tandus pulau Majuli. Harapannya, bibit tersebut akan tumbuh besar dan menghidupi sekitarnya. Selama 30 tahun ia tidak berhenti menanam pohon-pohon di lahan seluas 550 hektar ( lebih luas dari Taman Kota Central Park di New York).
Baginya, yang sulit bukan cuma menanam, tetapi menjaga pepohonan dari ancaman manusia.
“Manusia menghancurkan hutan untuk kebutuhan ekonomi. Jika hutan rusak, hewan-hewan di dalamnya pun rentan punah.
Tidak ada monster di alam ini yang sekejam manusia. Manusia mengkonsumsi semuanya sampai tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang aman di tangan manusia, tidak terkecuali macan, gajah bahkan hewan lainnya.” tuturnya.
Tiga puluh enam tahun kemudian, ia menuai sebuah hutan yang sangat luas. Ia tidak lagi hidup sendirian. Ada sekitar 115 ekor gajah yang secara rutin mengunjungi hutan 'Jadav Payeng'. Selain gajah, selama bertahun-tahun, hutan di timur laut India itu telah menjadi rumah bagi banyak binatang hutan seperti, rusa, badak, harimau Bengal, kera, kelinci, dan burung bangkai.
“Manusia menghancurkan hutan untuk kebutuhan ekonomi. Jika hutan rusak, hewan-hewan di dalamnya pun rentan punah.
Tidak ada monster di alam ini yang sekejam manusia. Manusia mengkonsumsi semuanya sampai tidak ada yang tersisa. Tidak ada yang aman di tangan manusia, tidak terkecuali macan, gajah bahkan hewan lainnya.” tuturnya.
Tiga puluh enam tahun kemudian, ia menuai sebuah hutan yang sangat luas. Ia tidak lagi hidup sendirian. Ada sekitar 115 ekor gajah yang secara rutin mengunjungi hutan 'Jadav Payeng'. Selain gajah, selama bertahun-tahun, hutan di timur laut India itu telah menjadi rumah bagi banyak binatang hutan seperti, rusa, badak, harimau Bengal, kera, kelinci, dan burung bangkai.
Payeng tinggal di hutan tersebut bersama istri, 3 anak, dan 3 ekor sapi. Mereka hidup dari penjualan susu dari ternak sapinya. Dan selama tiga dekade itulah, akhirnya hutan Assam yang rusak karena banjir kembali seperti semula.
2. Kalau kamu pernah berbuat sebuah kesalahan yang sempat menghancurkan dirimu, ingatlah seni kintsugi dari Jepang.
Jika setiap kali berbuat kesalahan atau mengalami luka psikis manusia mengalami keretakan seperti halnya keramik, seperti apakah bentuk kita jadinya? Apakah kita sebuah cangkir yang masih bisa diisi air, ataukah kita tinggal kepingan-kepingan menunggu dibuang?
Di Jepang, ada sebuah seni memperbaiki barang kerajinan tangan seperti mangkuk dan cangkir keramik yang pecah atau retak dengan resin yang dicampur bubuk emas. Nama seni itu adalah kintsugi. Kin artinya emas, dan Tsugi berarti sambungan.
Cerita sejarah di balik ditemukan kesenian itu berasal dari kisah Shogun Ashikaga Yoshimasa yang secara tidak sengaja menjatuhkan mangkuk teh kesayangannya. Mangkuk itu berasal dari China, dan di masa itu keramik buatan China termasuk barang mewah dan berharga. Ia pun mengembalikan mangkuk itu untuk direparasi di China. Namun saat dikembalikan, mangkuknya hanya dilekatkan dengan asal-asalan. Kecewa, Yoshimasa pun mengirimkannya ke kepada pengrajin Jepang, dan cangkirnya pun kembali utuh dengan tambahan pola-pola retakan berwana emas.
Bayangkan jika kita memperlakukan diri ini seolah keramik retak yang direkatkan kembali dengan seni kintsugi.
Dalam hidup, kita pun bisa menjalani filosofi kintsugi ini.
Pertama, menyadari bahwa kita melakukan kesalahan, dan berniat untuk memperbaikinya. Tentu kita tidak ingin membuang satu-satunya tubuh dan jiwa yang kita miliki meskipun telah retak berkeping-keping, bukan?
Dalam kintsugi, ada yang disebut dengan Wabi sabi. Wabi berarti sendiri dan Sabi adalah perjalanan waktu.
Wabi sabi bisa dimulai dengan cara memaafkan.
Aku memaafkan kamu yang sudah berbuat kesalahan, aku memaafkan diriku sendiri yang juga berbuat kesalahan. Langkah selanjutnya dari Wabi sabi ini adalah hidup sederhana. Menjaga kemelekatan dengan keinginan-keinginan yang selalu tumbuh. Mengurangi hal-hal yang tidak dibutuhkan.
Masih ada banyak tahapan dari kintsugi ini, antara lain gaman, yaitu kemampuan untuk bertahan, sabar dan tetap tenang. Hal ini bisa dilatih dengan memusatkan fokus pada sesuatu yang sederhana dan vital seperti bernapas. Kita mengistirahatkan pikiran dari kekhawatiran dan memikirkan hal-hal yang buruk.
Kemudian ada yuimaru yaitu menghargai kebersamaan. Yuimaru membantu kita menyembuhkan diri sendiri melalui kekuatan yang berasal dari teman dan keluarga. Lalu ada eiyoshoku, yaitu dengan menjaga kesehatan dan melatih keseimbangan.
Langkah terakhir adalah kansha, yaitu tindakan mengungkapkan syukur untuk kebaikan dan keburukan. Ketika diri sendiri telah menyadari semua yang dimiliki, kita dapat sembuh dan bangkit lebih cepat juga lebih kuat.
Thank You, I Learned a Lot.
Dua kisah inspiratif itu, bagi saya di tahun-tahun belakangan ini menjadi salah satu penyemangat untuk menjalani hari-hari, bahwa apa yang kita lakukan setiap harinya adalah untuk berproses menuju sesuatu yang baik. Dan sebagai manusia, saya tidak pernah bisa menjadi figur yang sempurna, di mata diri saya sendiri maupun orang lain.
Saya sering bilang sama anak-anak, "Jangan lupa ya, yang nyapu-ngepel rumah, masak, dan ngebelajarin kalian itu orangnya satu, sama. Bunda itu jadi Embak juga, jadi guru juga, jadi semua-semua."
Iya, terkadang, orang di luar keluarga inti suka lupa, kalau yang bersih-bersih rumah, menyiapkan ini dan itu, kemudian juga masih harus melakukan pekerjaan di luar rumah itu adalah orang yang sama.
Hello, kita sama-sama cuma dikasih dua puluh empat jam. Dua tangan dan kaki, satu otak. Kalau kamu bilang, saya bangun kurang pagi, belum bisa 'sempurna' mengurus anak-anak. Iya saya maklum kok. Mestinya saya memang nggak perlu tidur sekalian.
"Maafin Bunda ya, kalau pagi-pagi yang dilakuin pertama kali itu beberes rumah duluan, terus kalian jadi telat sarapan pagi. Atau kalau Bunda lagi harus bikin pesanan dan jadi nggak bisa nemenin kalian main."
Semua tentang prioritas dan pilihan pada hari itu. Kadang, anak-anak kepegang, tapi rumah berantakan, dan sebaliknya. Setiap hari selalu berubah prioritasnya.
Melalui tulisan ini, saya mau bilang 'terima kasih' sudah diingatkan sekali lagi untuk merangkul semua ketidaksempurnaan saya.
Saya ingin merangkul ketidaksempurnaan itu dalam-dalam. Membisikinya satu hal: "tidak apa-apa, kamu akan baik-baik saja."
Saya selalu ingat Almarhum Mas Agung pendiri Komunitas Harapan : "Orang yang selalu merasa dirinya paling baik, tidak akan pernah melakukan apa-apa bagi hidupnya. Kesalahan membuat kita bangkit dan memperbaiki diri."
Tulisan ini dibuat dalam rangka arisan Gandjel Rel, dengan tema pilihan dari Mbak Christanty Putri Arty dan Mba Ade Hermawati
Sumber bacaan dan tontonan :
1. Forest Man, film dokumenter pendek karya William Douglas Mc Master.
2. Kintsugi Wellness, buku karya Candice Kumai.
Komentar
Posting Komentar