Menelusuri Tradisi Kuliner #PesonaRamadhan2018 di Semarang






Di masa lampau Semarang adalah sebuah kota pelabuhan yang cukup diperhitungkan. Letak geografisnya yang berada di tengah-tengah kepulauan Nusantara, menjadikan pelabuhan yang dulunya berada di kaki bukit Bergota (Pasar Bulu, saat ini) ramai dikunjungi pedagang dari berbagai negara. Hal ini dibuktikan oleh catatan Tome Pires, seorang ahli obat-obatan asal Lisbon yang kemudian menulis buku Suma Oriental. Di tahun 1513, ketika sedang menyusuri Pantai Utara Pulau Jawa, Tome Pires mendapati bahwa Semarang merupakan pelabuhan yang paling ramai disinggahi kapal-kapal pedagang, baik dari China, Eropa, maupun Timur Tengah. Para pedagang yang berasal dari Timur Tengah dan India tidak hanya singgah untuk berdagang. Mereka juga menetap, dan lambat-laun meninggalkan jejak tradisi kuliner khas. Beberapa di antaranya masih dilestarikan oleh penduduk setempat, terutama pada saat bulan Ramadhan. Menelusuri Tradisi Kuliner Pesona Ramadhan di Semarang, selalu memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi yang menyukai kisah-kisah sejarah.




Jika kita melewatkan pawai Dugderan menjelang Ramadhan, tidak perlu kecewa karena Semarang masih memiliki beberapa daya tarik atraksi budaya lainnya. Keberadaan masjid-masjid kuno peninggalan para pedagang dari Timur Tengah merupakan salah satu tempat yang bisa dituju kala Ramadhan. 

Kopi Arab & Nasi Kebuli di Seputaran Masjid Menara Layur. 

masjid menara
Dokumentasi foto Masjid Menara di Jalan Layur yang diambil tahun 2007

Masjid Menara yang berada di Jalan Layur adalah salah satunya. Masjid ini berdiri di sisi Kali Semarang yang dulunya banyak disinggahi kapal para pedagang. Sekitar tahun 1800-an Para Pedagang dari Timur Tengah kemudian membangun masjid tersebut. Jika dulu masjid tersebut terdiri dari dua lantai, saat ini masjid yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Kawasan Kota Lama tersebut, tinggal satu lantai saja. Rob dan naiknya air tanah membuat jalanan harus dinaikkan sehingga masjid ini pun makin berkurang ketinggiannya. Meski begitu, kharisma masjid, yang saat ini dicat hijau pupus, masih terasa.

masjid menara layur
Kondisi terkini Masjid Menara 

Ketika bulan puasa tiba, tradisi khas di Masjid Menara adalah membagikan Kopi Arab kepada pengunjungnya. Berbeda dengan kopi pada umumnya, kopi ini memiliki cita rasa yang khas karena ditambahkan rempah seperti kapulaga, jahe, cengkeh, kayu manis, dan daun pandan. 

Tidak jauh dari lokasi yang juga dikenal sebagai Kampung Ndarat itu kita bisa lanjut berkendara menuju ke Jalan Petek untuk menemukan makanan khas Timur Tengah yang sudah akrab di lidah, yaitu Nasi Kebuli. Salah satu Warung Nasi Kebuli yang cukup familiar adalah Nasi Kebuli Bu Aminah. Untuk sampai ke lokasi warung makan yang ada di tengah-tengah pemukiman penduduk tersebut, kita bisa naik becak atau memesan kendaraan dengan aplikasi online. Sebagian besar pengemudinya sudah mengenal warung makan tersebut.

Warung makannya memang terlihat sederhana, namun masakannya memiliki cita rasa yang kaya. Nasi Kebuli Bu Aminah cukup terkenal di antara warung makan lainnya di daerah Petek.

nasi kebuli di jalan petek

nasi kebuli bu aminah

Menurut Bu Aminah, pemilik warung makan yang menyajikan Nasi Kebuli dan Nasi Tomat, bahan utama Nasi Kebuli adalah beras, minyak samin, dan rempah-rempah seperti; jahe, kayu manis, kapulaga, pala, dan cengkeh. Nasi yang berwarna kecoklatan itu kemudian disajikan bersama Semur Daging Kambing atau Sapi, Pindang Telur, Acar Nanas, serta Sambal.

nasi kebuli enak di semarang

kebuli

Nasi Kebuli tidak murni berasal dari para pedagang Arab, tapi masih ada pengaruh kuliner India juga, terutama dalam hal penggunaan beras dan bawang bombay, sebab orang Arab sendiri lebih banyak menggunakan gandum sebagai sumber karbohidratnya. Besar kemungkinan para pedagang Gujarat atau Arab mengenal beras dari juru masak mereka yang ikut berlayar, yang kebanyakan berasal dari Kerala, India. 

Di Semarang, Nasi Kebuli pun menyesuaikan dengan lidah Jawa. Misalnya dengan adanya penambahan sambal dan acar, serta bawang merah goreng. Jadi, dalam sepiring Nasi Kebuli yang kita santap ada kisah akulturasi tiga budaya; Arab, India, dan Jawa.

Teng teng, lampion khas Semarang (image from : wikipedia)

Jika tinggal sedikit lebih lama, atau memutuskan untuk menginap di kawasan Kampung Melayu, ada salah satu penginapan bergaya hostel yang bisa dipilih, yaitu d'Layur Hostel. Jika beruntung, saat menginap di sini pada bulan Ramadhan, kita bisa menyaksikan anak-anak atau remaja membawa Teng teng atau lampion khas Semarang ketika membangunkan warga di jam sahur. 

Mencicipi Bubur India di Masjid Jami Pekojan. 

Selepas Dzuhur, Tak'mir Masjid Jami Pekojan biasanya mulai mengolah 25 kg beras untuk dijadikan bubur. Sekitar 200-an porsi bubur yang disajikan di mangkuk-mangkuk plastik akan dihidangkan bagi para pengunjung masjid. Tradisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1309.

Untuk bisa mencicipi Bubur India ini, kita bisa berkunjung ke masjid ini di jam-jam menjelang buka puasa. Biasanya, deretan mangkuk warna-warni sudah berjejer di bagian dalam masjid. Tapi jika ingin melihat atraksi memasak, yaitu ketika tak'mir masjid mengaduk bubur di kuali besar dengan sendok kayunya, maka kita harus berkunjung ke tempat ini selepas pukul dua siang. 

bubur india di masjid pekojan

Lokasi masjid yang merupakan salah satu masjid tertua di Semarang ini berada di Jalan Petolongan, Kampung Pekojan, Kelurahan Purwodinatan. Lokasi ini lebih mudah ditempuh jika melewati Jalan Mataram, kemudian langsung belok kiri ke Jalan Petolongan. Salah satu ciri khas Kampung Petolongan adalah banyaknya tempat reparasi mesin jahit. Masjid Jami Pekojan berada di ujung jalan Petolongan.

Usia masjid yang juga memiliki menara yang masih kokoh berdiri tersebut mungkin sudah sekitar 150 tahunan. Di samping halaman masjid juga terdapat makam para pengurus masjid dan penyiar agama Islam di kawasan Pekojan atau Kampung Koja. Koja adalah sebutan untuk orang keturunan Pakistan yang menikah dengan masyarakat setempat. 

bubur india masjid jami

Rasa khas rempah dari Bubur India yang disajikan di Masjid Jami Pekojan, lagi-lagi sudah berbaur dengan tradisi masakan khas Jawa. Terbukti dari lauk teman makan buburnya; bisa ayam, tahu, atau ati ampela dengan cita rasa kuah seperti hidangan Terik yang gurih dan bersantan. Selain bubur, ada juga buah-buahan dan kurma, juga segelas kopi sebagai teman berbuka puasa. 


Selepas buka puasa, pengunjung bisa shalat magrib dan mendengarkan ceramah di masjid tersebut. Kawasan tempat di mana Masjid Jami Pekojan berada juga tidak jauh dari kawasan Pecinan. Meski kawasan tersebut didominasi oleh pertokoan mulai dari toko plastik hingga bahan bangunan. Namun, jika ingin menginap di kawasan tersebut, ada beberapa penginapan yang direkomendasikan, salah satunya adalah Tjang Residence. 

Jika menginap di kawasan Pecinan pada malam Jumat hingga Sabtu malam, kita juga bisa sekalian mampir ke pusat kuliner malam, yaitu Pasar Semawis. Di sini berbagai jenis kuliner bisa kita temukan, dari mulai yang paling kekinian sampai yang tradisional dan khas Semarang. 

Berkunjung ke Kota Semarang pada bulan Ramadhan merupakan salah satu cara untuk bisa menelusuri tradisi-tradisi kulinernya; bagaimana tradisi itu mengakar, berbaur, atau bahkan muncul dalam bentuk yang baru. Menarik untuk ditelusuri, bukan? 







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dua Kisah Inspiratif Yang Bisa Kamu Jadikan Semangat Menjalani Hidup

Berwakaf Dengan Asuransi Syariah Gimana Caranya?

The Kirana Tembok, A Promising Sustainable Tourism Destination