Memotret Langgam Arsitektural Di Sudut Kampung-Kampung Pekalongan
Hunian atau rumah adalah fungsi arsitektural dengan ragam tipologi yang paling kaya. Masing-masing daerah pasti memiliki ciri khasnya masing-masing. Bentuk dan detailnya mewakili fungsi bangunan itu sendiri, juga nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu daerah atau masyarakat tempat bangunan tersebut berdiri, tidak jarang juga menggambarkan cara hidup, dan memiliki nilai etnosentris dimana satu konsep hunian tidak bisa digunakan untuk konsep hunian yang lain. Beruntung saya bisa memotret langgam arsitektural di sudut-sudut kampung di Pekalongan bersama Komunitas Fest. Kalongan.
Kampung Arab Pekalongan.
Lokasi pertama yang saya datangi sore hari itu adalah Kampung Arab. Kampung Arab ini mencakup tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Sugihwaras, Kelurahan Klego, dan Kelurahan Poncol. Sebagian besar penghuni Kampung Arab adalah masyarakat Arab. Kelurahan Sugihwaras paling banyak dihuni oleh masyarakat Arab karena sebenarnya cikal bakal dari Kampung Arab itu sendiri berawal dari Kelurahan Sugihwaras terutama di sekitar Jalan Surabaya.
Dahulu kala, area tersebut menjadi sentra penjualan batik yang sangat ramai. Mulai dari pembuat batik, penyedia kain mori, sampai makelarnya tinggal di satu kampung yang sama. Ketika hari pasaran tiba, jalanan penuh dengan orang-orang yang berjualan batik. Dulu, harga kain mori di Indonesia ditentukan di tempat ini, dulu juga seorang makelar batik dengan modal kepercayaan dan cara bicaranya yang handal bisa menghidupi keluarganya selama beberapa bulan ke depan dengan hanya menjadi makelar di area ini.
Tidak heran jika kemudian bukan hanya rumah penduduk atau para pedagang yang ada di Kampung Arab, tetapi bermunculan pula rumah-rumah yang digunakan sebagai penginapan.
Saking besarnya perputaran uang di tempat ini, konon hampir semua orang memiliki vespa. Produsen vespa asal Italia pun sampai melirik dan ingin tahu dengan tempat tersebut, "kok bisa banyak sekali orang dari sebuah daerah di Jawa Tegah membeli vespa-vespanya," begitu mungkin yang dipikirkan.
Bangunan pertama yang dibangun di Kampung Arab adalah Masjid Wakaf. Dengan dibangunnya masjid itulah kemudian orang-orang Arab yang merupakan para pedagang yang berlabuh di Pekalongan datang untuk beribadah, selanjutnya berdagang, dan tinggal menetap.
Di masa kini, jika dicermati, hampir sebagian besar bangunan yang ada di Kampung Arab saat ini difungsikan sebagai toko atau tempat berjualan, dari mulai makanan, pakaian, hinga wewangian. Meski sudah banyak bentuk bangunan atau arsitektur asli yang berubah, namun berjalan-jalan di Kampung Arab dan memandangi satu per satu bentuk huniannya sangat menarik untuk dilakukan.
Menurut Teguh, salah satu penggerak Komunitas Fest. Kalongan, adanya dua pintu masuk pada bangunan khas Arab ada fungsinya sendiri. Masyarakat Arab sangat gemar bersilaturahmi. Para lelaki biasanya berkumpul di ruang tamu, untuk itulah dibuatkan satu buah pintu lagi, khusus untuk istri, anak perempuan, atau tamu wanita, agar bisa leluasa keluar masuk tanpa harus melewati kumpulan tamu pria.
Kampung Pecinan Pekalongan.
Keesokan harinya, setelah menikmati kuliner di kawasan Pecinan, berupa Sate Ayam yang diguyur kuah nan gurih, saya bersama teman-teman Komunitas Fest. Kalongan kembali menyusuri jalanan di Kampung Pecinan untuk menelusuri bangunan-bangunannya.
Tentu bangunan di kampung ini berbeda dengan Kampung Arab. Arsitektural khas rumah-rumah milik etnis Tionghoa langsung bisa diidentifikasi dari bentuk atapnya yang berbentuk pelana dan melengkung ke atas, atau yang disebut Ngang Shan.
Saya pernah mendengar dari kawan Arsitek yang mengatakan kalau di zaman kolonial Belanda, orang-orang etnis Tionghoa saat membangun rumah diberikan peraturan khusus untuk ukuran lebar rumahnya dari pemerintahan kolonial. Rata-rata bagian depannya tidak melebar, dan tampak kecil-kecil, namun sebenarnya memanjang ke belakang. Untuk fakta ini rupanya saya harus kembali membaca-baca buku atau mengumpulkan informasi lagi.
Yang saya tahu, umumnya permukiman Tionghoa pada kota-kota di Jawa sampai tahun 1900-an dipusatkan di daerah Pecinan. Sejak tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda membuat undang-undang yang disebut sebagai wijkenstelsel, yang sangat membatasi gerak orang Tionghoa sehingga harus terpusat di daerah permukimannya. Baru pada tahun 1910-an undang-undang tersebut dihapuskan.
Sesudah dihapuskannya undang-undang Wijkenstelsel, permukiman Tionghoa menempati daerah-daerah perdagangan, seperti di sekitar pasar atau pusat-pusat perdagangan. Sama halnya dengan di Kampung Pecinan Pekalongan yang lokasinya tidak jauh dari pasar.
Untuk bisa memahami langgam arsitektural china, yang paling mudah adalah dengan melihat bangunan kelenteng. Memiliki warna yang khas, yaitu merah dan kuning, atap melengkung, banyak ornamen ragam hias, dan konstruksi kayunya, biasanya rangka atapnya dibiarkan terlihat.
Sangat menarik mencermati penggalan-penggalan sejarah yang bisa kita lihat dari bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh di sepanjang jalan di Pecinan. Selain rumah-rumah dengan arsitektur etnis Tionghoa, saya juga menemukan bangunan bergaya kolonial. Melihatnya mengundang rasa ingin tahu, dan benak seolah menyusun kepingan kisah tentang keadaan masa lalu kota ini.
Rasanya masih belum lengkap kepingan-kepingan kisah yang saya kumpulkan dari perjalanan ini. Suatu hari, saya ingin benar-benar memotret ulang rumah-rumah di kedua kampung yang menjadi pembentuk Kota Pekalongan; Kampung Arab, China, dan Jawa. Masih banyak juga teka-teki yang belum terpecahkan ketika menelusuri sejarah melalui bangunan-bangunan cagar budaya yang ada. Semoga masyarakat dan pemerintah setempat tetap menjaga salah satu kekayaan budaya tersebut.
Nyaman Naik Kereta Api Ke Pekalongan
Kalau diminta memilih antara mengendarai mobil pribadi atau naik kereta api untuk sampai di Pekalongan, saya lebih memilih untuk naik kereta api. Banyak sekali pilihan yang ditawarkan oleh PT.KAI sebagai alternatif untuk bisa sampai di Pekalongan. Hampir semua jurusan kereta api melewati Stasiun Pekalongan. Dari mulai kereta eksekutif Argo Bromo, sampai kereta api ekonomi lokal, yaitu Kaligung. Ada juga kereta api Kamandaka yang bisa kita naiki dari Stasiun Poncol, Semarang.
Kesan menaiki kereta api telah berubah sejak PT.KAI mulai memperbaiki manajemennya. Petugas yang ramah, dan fasilitas yang lebih baik; misalnya untuk kelas ekonomi saat ini juga sudah menggunakan AC. Beruntung pada saat perjalanan naik kereta api ke Pekalongan kemarin saya dan teman saya mendapatkan gerbong makan atau area Reska yang unik. Dindingnya dilapisi kayu dengan ornamen ukiran. Petugasnya pun menyambut kami dengan sangat ramah.
Kampung Arab Pekalongan.
Lokasi pertama yang saya datangi sore hari itu adalah Kampung Arab. Kampung Arab ini mencakup tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Sugihwaras, Kelurahan Klego, dan Kelurahan Poncol. Sebagian besar penghuni Kampung Arab adalah masyarakat Arab. Kelurahan Sugihwaras paling banyak dihuni oleh masyarakat Arab karena sebenarnya cikal bakal dari Kampung Arab itu sendiri berawal dari Kelurahan Sugihwaras terutama di sekitar Jalan Surabaya.
Dahulu kala, area tersebut menjadi sentra penjualan batik yang sangat ramai. Mulai dari pembuat batik, penyedia kain mori, sampai makelarnya tinggal di satu kampung yang sama. Ketika hari pasaran tiba, jalanan penuh dengan orang-orang yang berjualan batik. Dulu, harga kain mori di Indonesia ditentukan di tempat ini, dulu juga seorang makelar batik dengan modal kepercayaan dan cara bicaranya yang handal bisa menghidupi keluarganya selama beberapa bulan ke depan dengan hanya menjadi makelar di area ini.
Tidak heran jika kemudian bukan hanya rumah penduduk atau para pedagang yang ada di Kampung Arab, tetapi bermunculan pula rumah-rumah yang digunakan sebagai penginapan.
Saking besarnya perputaran uang di tempat ini, konon hampir semua orang memiliki vespa. Produsen vespa asal Italia pun sampai melirik dan ingin tahu dengan tempat tersebut, "kok bisa banyak sekali orang dari sebuah daerah di Jawa Tegah membeli vespa-vespanya," begitu mungkin yang dipikirkan.
image from : www.cintapekalongan.com |
Bangunan pertama yang dibangun di Kampung Arab adalah Masjid Wakaf. Dengan dibangunnya masjid itulah kemudian orang-orang Arab yang merupakan para pedagang yang berlabuh di Pekalongan datang untuk beribadah, selanjutnya berdagang, dan tinggal menetap.
Di masa kini, jika dicermati, hampir sebagian besar bangunan yang ada di Kampung Arab saat ini difungsikan sebagai toko atau tempat berjualan, dari mulai makanan, pakaian, hinga wewangian. Meski sudah banyak bentuk bangunan atau arsitektur asli yang berubah, namun berjalan-jalan di Kampung Arab dan memandangi satu per satu bentuk huniannya sangat menarik untuk dilakukan.
Menurut Teguh, salah satu penggerak Komunitas Fest. Kalongan, adanya dua pintu masuk pada bangunan khas Arab ada fungsinya sendiri. Masyarakat Arab sangat gemar bersilaturahmi. Para lelaki biasanya berkumpul di ruang tamu, untuk itulah dibuatkan satu buah pintu lagi, khusus untuk istri, anak perempuan, atau tamu wanita, agar bisa leluasa keluar masuk tanpa harus melewati kumpulan tamu pria.
Kampung Pecinan Pekalongan.
Keesokan harinya, setelah menikmati kuliner di kawasan Pecinan, berupa Sate Ayam yang diguyur kuah nan gurih, saya bersama teman-teman Komunitas Fest. Kalongan kembali menyusuri jalanan di Kampung Pecinan untuk menelusuri bangunan-bangunannya.
Tentu bangunan di kampung ini berbeda dengan Kampung Arab. Arsitektural khas rumah-rumah milik etnis Tionghoa langsung bisa diidentifikasi dari bentuk atapnya yang berbentuk pelana dan melengkung ke atas, atau yang disebut Ngang Shan.
Ini adalah tampak samping rumah di kawasan Pecinan Pekalongan. Kebanyakan rumah-rumah ini berbentuk memanjang. |
Saya pernah mendengar dari kawan Arsitek yang mengatakan kalau di zaman kolonial Belanda, orang-orang etnis Tionghoa saat membangun rumah diberikan peraturan khusus untuk ukuran lebar rumahnya dari pemerintahan kolonial. Rata-rata bagian depannya tidak melebar, dan tampak kecil-kecil, namun sebenarnya memanjang ke belakang. Untuk fakta ini rupanya saya harus kembali membaca-baca buku atau mengumpulkan informasi lagi.
Yang saya tahu, umumnya permukiman Tionghoa pada kota-kota di Jawa sampai tahun 1900-an dipusatkan di daerah Pecinan. Sejak tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda membuat undang-undang yang disebut sebagai wijkenstelsel, yang sangat membatasi gerak orang Tionghoa sehingga harus terpusat di daerah permukimannya. Baru pada tahun 1910-an undang-undang tersebut dihapuskan.
Sesudah dihapuskannya undang-undang Wijkenstelsel, permukiman Tionghoa menempati daerah-daerah perdagangan, seperti di sekitar pasar atau pusat-pusat perdagangan. Sama halnya dengan di Kampung Pecinan Pekalongan yang lokasinya tidak jauh dari pasar.
Untuk bisa memahami langgam arsitektural china, yang paling mudah adalah dengan melihat bangunan kelenteng. Memiliki warna yang khas, yaitu merah dan kuning, atap melengkung, banyak ornamen ragam hias, dan konstruksi kayunya, biasanya rangka atapnya dibiarkan terlihat.
Bersepeda di area Pecinan Pekalongan |
Pasar yang ada di daerah Pecinan. |
Sangat menarik mencermati penggalan-penggalan sejarah yang bisa kita lihat dari bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh di sepanjang jalan di Pecinan. Selain rumah-rumah dengan arsitektur etnis Tionghoa, saya juga menemukan bangunan bergaya kolonial. Melihatnya mengundang rasa ingin tahu, dan benak seolah menyusun kepingan kisah tentang keadaan masa lalu kota ini.
Rasanya masih belum lengkap kepingan-kepingan kisah yang saya kumpulkan dari perjalanan ini. Suatu hari, saya ingin benar-benar memotret ulang rumah-rumah di kedua kampung yang menjadi pembentuk Kota Pekalongan; Kampung Arab, China, dan Jawa. Masih banyak juga teka-teki yang belum terpecahkan ketika menelusuri sejarah melalui bangunan-bangunan cagar budaya yang ada. Semoga masyarakat dan pemerintah setempat tetap menjaga salah satu kekayaan budaya tersebut.
Nyaman Naik Kereta Api Ke Pekalongan
Kalau diminta memilih antara mengendarai mobil pribadi atau naik kereta api untuk sampai di Pekalongan, saya lebih memilih untuk naik kereta api. Banyak sekali pilihan yang ditawarkan oleh PT.KAI sebagai alternatif untuk bisa sampai di Pekalongan. Hampir semua jurusan kereta api melewati Stasiun Pekalongan. Dari mulai kereta eksekutif Argo Bromo, sampai kereta api ekonomi lokal, yaitu Kaligung. Ada juga kereta api Kamandaka yang bisa kita naiki dari Stasiun Poncol, Semarang.
Kesan menaiki kereta api telah berubah sejak PT.KAI mulai memperbaiki manajemennya. Petugas yang ramah, dan fasilitas yang lebih baik; misalnya untuk kelas ekonomi saat ini juga sudah menggunakan AC. Beruntung pada saat perjalanan naik kereta api ke Pekalongan kemarin saya dan teman saya mendapatkan gerbong makan atau area Reska yang unik. Dindingnya dilapisi kayu dengan ornamen ukiran. Petugasnya pun menyambut kami dengan sangat ramah.
Dengan pengalaman kenyamanan naik kereta api, maka ketimbang memilih jalur darat yang kini juga sering macet karena beberapa kali sedang ada proyek pembangunan jalan, saya lebih mengandalkan PT. KAI untuk bepergian ke kota-kota yang dilewati oleh jalur kereta api. Next, sepertinya saya ingin menjajal untuk naik kereta ke Tegal atau Purwokerto.
Komentar
Posting Komentar